Syari'at, Thariqat, Hakikat, Ma'rifat
Tahapan-Tahapan Tasawuf
Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf
untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai As-Sa’aadah menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul
Kaamil menurut Muhyddin Ibnu Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai
berikut:
1.Syari’at
Istilah syari’at, dirumuskan
definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar Al-Ma’ruf dengan mengatakan: Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh
Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya. Kemudian Asy-Syekh Muhammad
Amin AL-Kurdiy mengatakan: Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan
kepada Rasulullah SAW., yang telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash
Al-Qur’an dan Sunnah ataupun dengan (cara) istirahat:
yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu
Tasawuf. Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid; meliputi keimanan kepada
Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan
Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah;
dan meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh. Dan
hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut ibadah mahdhah atau taqarrub
(ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama manusia dan
makhluk lainnya, yang disebut ibadah ghairu mahdhah atau
ammah (ibadah umum).
Kemudian
hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi sikap dan
perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan najis
serta maksiat yang nyata dengan istilah At-Takhali. Lalu berusaha melakukan
kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji,
dengan istilah At-Thalli.
Bila syari’at diartikan
secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang
tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena itu,
penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan manusia
yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid. Penomena
keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
2.Tarekat
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakika atau
dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut Al- Jaraa’ atau Al-Amal, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin
Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan
tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang
sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan
perintah Tuhan sesuai
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang
tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan
makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat,
menunaikan hal- hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan
kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi)
yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf
di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat
mempunyai dua macam pengertian.
·
Tarekat yang
diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu
tingkatan kerohanian yang disebut Al-Maqamaat dan Al-Ahwaal.
·
Tarekat yang
diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat
seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam
perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran
Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya. Dari
pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah
dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara bersama-sama,
dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian
yang disebut Al-Maqaamaat dan Al- Akhwaal, meskipun kedua istilah ini ada segi
prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga disebut Suluk, maka pengertian
Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya).
Tetapi kalau dilihat dari sisi organisasinya (perkumpulannya), tentu saja
pengertian Tarekat dan Suluk tidak sama.
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan
Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:
> Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara pengamalan
ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di samping dapat
diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya
karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan
ajaran Tasawuf secara sungguh- sungguh.
> Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya
langgeng atau bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada
pada diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis
mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
Tentang
jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu
Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan
tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai
berikut:
a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh,
serta yang syubhat (Al-Wara’);
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;
a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
3.Hakikat
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan
Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:
a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf
mengatkan :
Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai
suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan
mata hatinya.
b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada
hamba-Nya.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni
Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu,
Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1) Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran
Allah sebagai penciptanya;
2) Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3) Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi
tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung
disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal. Pengalaman
batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan
antara hakikat dengan ma’rifat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf,
sedangkan ma’rifat merupakan
tujuan akhirnya.
4.Ma’rifat
Istilah Ma’rifat berasal
dari kata Al-Ma’rifah
yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah
ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika
Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya
oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan: Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib
As-Saamiriy yang mengatakan: Ma’rifat
adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu
berhubungan dengan Nur Ilahi.
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan: Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana
ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat ma’rifatnya, maka meningkat
pula ketenangan (hatinya). Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat
sampai kepada tingkatan ma’rifat.
Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu,
sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al- Mishriy yang mengatakan; ada beberapa
tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifat
padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu
ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram. Dari sinilah kita dapat melihat
bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan
kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah
SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat
memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama- sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang
melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah
di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut
(hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali
hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang
selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi,
selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada
Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa
kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga
keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak
mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk
pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.
wassalam...