Sabtu, 14 Februari 2015

Al-Hikam 14

“Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat semesta, namun tidak melihat-Nya disana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Di mata para ahli syuhud (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yang membuat dunia ini tampak hanyalah wujud Allah semata, persis seperti pancaran sinar matahari yang masuk kedalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Mahabenar. Dengan kemunculan Allah pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai tabiatnya masing-masing. Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.
            Jika demikian, barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah di sana, berarti ia telah kehilangan nur ilahi (cahaya Allah) yang membuatnya mendapat musyahadah. Disamping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.
            Di sini Ibnu Atha’illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam memandang Allah. Di antara mereka ada yang menyaksikan Sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan menyaksikan keberadaan Yang Mahabenar dan bahwa hanya Dia yang menggerakkan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya terbesit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dsb.
            Ada juga yang menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda. Adapula yang menyaksikan Tuhan pada benda itu.
            Hikmah ini teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa diungkapkan melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhud akan kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 13

“Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannnya?”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat serta bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu diandalkannya.
            Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah? Orang yang terbelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?
            Disini Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seseorang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak akan diizinkan menemui Allah swt.
            Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum ’arif, sedangkan ia belum bertobat dari kesalahan atau maksiat yang tidak sengaja dilakukannya?
            Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha’illah mengungkapkan kejanggalan yang dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yang diinginkannya, sedangkan ia masih melakukan hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.
            Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan degan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaaan, bukan dengan keinginan yang besar untuk selalu melakukan maksiat.
            Allah swt. Berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah [2]: 282)
            Dalam sebuah khabar disebutkan, ”Siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak diketahuinya.”
            Keempat hal di atas sebenarnya saling mempengaruhi satu sama lain. Tampilanya gambaran keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelengguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab segala kekeliruan, dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati.        

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 12

“Tiada yang lebih berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah hati memasuki lapangan tafakkur”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            ‘Uzlah (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murid untuk membersihkan hati dari segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya.
            Tafakkur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yang berpacu di sebuah arena pacuan.
            Bila seorang murid terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju pada keduniaan sehingga yang kemudian tampak jelas dihadapannya hanyalah hal-hal yang bersifat materi dan fana. Tidak demikian jika ia ber-‘uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia, hatinya akan disibukkan dengan hal-hal gaib.
            Dalam sebuah khabar disebutkan, “bertafakkur sesaat lebih baik dari pada ibadah 70 tahun”.
            Ada seseorang yang bertanya kepada Ummu ad-Darda, “Amalan apa yang paling diutamakan Abu Darda?”
            Ummu ad-Darda menjawab, “tafakkur”. Dengan bertafakkur, seseorang bisa mendalami hakikat, mengagungkan Allah, dan mengutamakan segala hal yang diridhai-Nya. Dengan bertafakkur, ia bisa menganggap hina semua hal yang dibenci Allah sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakkur, seseorang bisa mengetahui keburukan-keburukan jiwa yang terselubung, kejahatan musuh dan tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga ia bisa dengan mudah menghindarinya dan selamat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkannya.
            Dengan menyendiri dan merenung, seseorang murid melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari empat rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah sikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah malam). Ini, bagi murid yang menempuh jalan tarekat sendirian.
            Adapun bagi murid yang berada di bawah bimbingan guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan gurunya, juga dengan saudara-saudara yang turut membantunya menempuh jalan tarekat. Jika ia telah menjadi arif, tak masalah baginya bergaul dengan manusia manapun karena saat itu di matanya hanya Allah yang terlihat. Perlu dicamkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah tafakkur, sedangkan ‘uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 11

“Kuburlah dirimu di tanah kerendahan karena sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Maksud “tanah kerendahan” adalah tanah di mana popularitas tak tumbuh subur. Maksud “kuburlah dirimu di sana” adalah kau tidak usah menempuh sebab-sebab popularitas, seperti menawarkan dirimu untuk sebuah jabatan yang membuatmu terkenal, kau harus merendah hati dan jangan mencari kedudukan tertentu. Jangan memandang jabatan yang sedang kau sandang sebagai hal yang besar. Yakinlah bahwa kebaikan akan kau dapatkan saat kau meninggalkan itu semua. Namun jangan kau tinggalkan itu semua, kecuali atas bimbingan gurumu atau atas izin Tuhanmu.
            Ibnu Atha’illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan, “sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempuna” maksudnya, benih yang tidak ditanam dalam-dalam hanya akan tumbuh lemah, kering, dan tak bisa dimanfaatkan. Bahkan mungkin benih itu akan mudah dimakan oleh burung atau binatang lain sebelum tumbuh menjadi tanaman.
            Demikian pula seorang salik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, jarang yang berhasil diakhir. Semakin ia merendahkan diri maka maqam ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila sejak awal ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari makhluk, tidak mau dikenang, tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersama Tuhannya, ia akan bersama Tuhannya. Jika Tuhan berkehendak, Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, Dia akan menutupinya dan membuatnya tidak dikenal.
            Abu al-Abbas rahimahullah berkata, “siapa yang menginginkan popularitas, ia adalah budak popularitas. Siapa yang mencintai para penguasa, ia akan menjadi budak penguasa. Siapa yang menyembah Allah, baginya sama saja, terkenal ataupun tidak”.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)