Minggu, 14 Juni 2015

Al-Hikam 80

“Yang diminta seorang ‘arif dari Allah adalah ketulusan dalam beribadah dan pemenuhan hak-hak Tuhan-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Yang diminta oleh orang ‘arif ini lebih tinggi daripada yang diminta oleh orang selainnya, baik itu ahli ibadah, zahid, maupun alim. Hal itu dikarenakan, yang diminta oleh orang ‘arif hanyalah bagaimana bisa tulus dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memerhatikan etika penghambaan, berkhlak dengan akhlak hamba dan melaksanakan hak-hak Allah.
            Hak-hak Allah itu adalah bersyukur atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, menjadikan penolong orang yang menolong-Nya, bertawakkal kepada-Nya, merasa diawasi-Nya (muraqabah), berdiri di hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian tawadhu’ dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yang butuh, memegang tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta sifat-sifat dan akhlak ‘ubudiyah lainnya.
            Siapa yang tulus dalam mengerjakan itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Contoh memenuhi hak-hak Tuhan secara lahir adalah dengan taat secara lahir, muraqabah secara batin, dan selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.
            Hikmah di atas menjelaskan bahwa seorang ‘arif hanya meminta dua perkara, tanpa memerhatikan keuntungan diri. Artinya, orang-orang ‘arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yang lain tidak pernah memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan seorang ‘arif lebih tinggi daripada permintaan selainnya.
            Abu Madyan berkata, “Ada perbedaan antara orang yang tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yang keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah.”



(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 79

“Harapan mesti disertai amal. Jika tidak, ia hanyalah angan-angan.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Harapan yang sesungguhnya ialah harapan yang memotivasi seseorang untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja dan beramal. Biasanya, orang yang berharap sesuatu, dia akan mencarinya. Orang yang takut terhadap sesuatu, dia akan menghindarinya.
            Jika harapan tidak dibarengi amal, bahkan pelakunya malas dan enggan bekerja, serta justru mendorong kepada maksiat dan dosa, menurut para ulama, itu hanyalah angan-angan, bukan harapan sesungguhnya. Ia bukanlah harapan, melainkan ketertipuan.
            Allah swt. berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang buruk) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata, ‘Kami akan diberi ampun.’” (QS.al-‘Araf [7]: 169)
            Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang baik ialah orang yang menghinakan dirinya sendiri dan beramal untuk masa setelah kematian, sedangkan orang yang buruk ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berharap dari Allah dengan harapan-harapan palsu.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 78

“Tidak disebut ‘arif orang yang jika memberikan isyarat, ia merasa Allah lebih dekat daripada isyaratnya. Namun, orang ‘arif adalah orang yang tidak mempunyai isyarat karena telah sirna dalam wujud-Nya dan lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            “Memberi isyarat” ialah menunjukkaan sebagian rahasia Allah dengan isyarat. “Merasa Allah lebih dekat” berarti ia merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah gaib, bahkan serasa Allah memerhatikannya saat ia menunjukkan sebagian rahasia Ilahi itu.
            Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang ‘arif yang sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti orang yang mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak “yang menunjukkan”, wujud objek “yang ditunjukkan”, dan wujud media “yang digunakan untuk menunjukkan”. Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yang ditunjukkan melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana karena ia belum keluar dari ranah indranya.
            Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia sekedar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah rahasia-rahasia tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman-pengalaman yang didapat melaui perasaan.
            Orang yang mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memerhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak gaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya. Orang ‘arif sesungguhnya ialah orang yang tampak tidak memiliki isyarat sama sekali walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.
            Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yang sirna dari isyarat, yang diisyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yang mengisyaratkan dan yang diisyaratkan saat itu hanya Allah swt. Di sini ia sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari sana. Maka dari itu, siapa yang melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan melihat dirinya sendiri.
            Syekh Yusuf al-‘Ajami berkata, “Siapa yang berbicara di maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yang berbicara adalah Yang Maha Haq melaui lisan hamba-Nya.”
            Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadis qudsi, “Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara.”
            Seorang dari mereka ditanya tentang kefanaan diri (peleburan diri). Ia menjawab, “Keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan zikir, dan ia merasa fana dari segala sesuatu; akalnya, dirinya, bahkan fana dari kefanaan itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam keagungan Ilahi.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Sabtu, 13 Juni 2015

Al-Hikam 77

“Sedih karena kehilangan kesempatan berbuat ketaatan, namun tanpa disertai upaya untuk bangkit mengerjakannya, merupakan salah satu tanda ketertipuan.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Kesedihan seperti ini biasanya merupakan akibat ketergantungan atas sesuatu yang tidak ada wujudnya. Ini kesedihan semu yang biasanya disertai dengan tangisan yang juga semu. Dalam pepatah disebutkan, “Berapa banyak mata yang meneteskan air mata, tetapi hatinya tetap keras.”
            Orang yang bersedih semu itu akan merasa aman dari makar Allah yang tersamar. Allah akan menahan apa yang berguna baginya dan memberi apa yang membuatnya sedih dan menangis. Dengan begitu, ia menganggap baik ahwal-nya dan menganggap dirinya berguna. Adapun kesedihan yang tulus dan sungguh-sungguh adalah yang mendorong kepada ketaatan dan diiringi dengan tangisan yang benar. Ini adalah maqam para salik.
            Abu Ali ad-Daqqaq yang selalu bersedih menuturkan bahwa ia meniti jalan Allah dalam sebulan seperti orang yang belum pernah menempuh jalan Allah selama bertahun-tahun.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 76

“Sebaik-baik yang kauminta kepada-Nya adalah apa yang Dia tuntut darimu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Sebaik-baik perkara yang kauminta dari Allah adalah yang Allah minta darimu, berupa sikap istikamah di jalan ‘ubudiyah. Ini lebih baik bagimu daripada permintaanmu berupa nasib baik dan keinginan dunia atau akhiratmu karena itu hanyalah keuntungan bagi dirimu sendiri.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 75

“Ketika Allah menganugerahimu ketaatan dan engkau merasa cukup dengan-Nya, berarti Dia telah mencurahkan nikmat-Nya, lahir dan batin.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ketaatan ialah melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan secara lahir. Adapun makna “merasa cukup dengan-Nya” adalah kau tidak terlalu bergantung pada ketaatan itu dalam mendapatkan keinginanmu, tetapi hanya bergantung kepada Tuhanmu dan menyisihkan segala hal selain-Nya.
            Jika demikian, ketahuilah bahwa Allah telah menganugerahkan segala karunia-Nya, baik yang lahir, seperti ketaatan, maupun yang batin, seperti makrifat yang mewajibkanmu untuk mengabaikan dan tidak melihat selain-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 74

“Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu di sisi Allah, perhatikanlah di mana Dia menempatkanmu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Apakah kau termasuk orang-orang yang maqbul (diterima amalnya) dan bahagia ataukah termasuk orang-orang yang mardud (ditolak amalnya) dan menderita? Jika kau ingin tahu dirimu, perhatikan dimana Allah menempatkanmu, apakah di dalam ketaatan atau sebaiknya?
            Siapa yang termasuk orang-orang yang maqbul dan bahagia maka Allah akan mempekerjakannya dalam amal yang diridai-Nya, berupa bermacam ketaatan. Siapa yang termasuk orang-orang yang mardud dan menderita maka Allah akan mempekerjakannya dalam hal yang dibenci-Nya, berupa ragam pelanggaran. Ini berlaku bagi orang-orang awam. Adapun  bagi orang-orang khusus (khawwash) maka kalimatnya adalah, “Jika kau ingin tahu kedudukanmu di sisi-Nya, apakah kau termasuk muqarrabin atau tidak, lihatlah di mana Allah menempatkanmu dan pengetahuan apa yang diberikan-Nya ke dalam hatimu?”
            Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang ingin tahu kedudukannya di sisi Allah, hendaknya ia mengetahui kedudukan Allah di hatinya.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 73

“Siapa yang merasakan buah amalnya di dunia maka itu bukti bahwa amalnya diterima di akhirat.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Yang dimaksud dengan “buah amal di dunia” adalah kenikmatan dalam beramal. Bila seseorang sudah merasakan nikmatnya beramal, itu berarti bahwa amal tersebut telah diterima Allah selagi masih di dunia.
            Abu Turab berkata, “Jika seorang hamba tulus dalam amalnya, ia akan mendapatkan manisnya amal itu sebelum mengerjakannya. Jika ia ikhlas dalam amalnya, ia akan mendapatkan manisnya amal itu saat mengerjakannya.”
            Amal yang memiliki sifat-sifat seperti ini akan diterima Allah. Bila Allah telah menerima amal seorang hamba di dunia, itu adalah tanda bahwa kelak di akhirat, Dia akan memberinya pahala, sebagaimana yang akan dijelaskan.
            Sekalipun telah merasakan manisnya beramal, seorang hamba tidak layak untuk terlena dan merasa bahagia terlebih dahulu. Ia juga tidak layak berharap agar amal tersebut terus berlangsung lantaran ia merasa nikmat dan mujur di dalamnya. Hal itu bisa merusak keikhlasannya dalam beribadah dan ketulusan niatnya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 72

“Allah menjadikan negeri akhirat sebagai tempat memberi balasan kepada para hamba-Nya yang beriman karena negeri (dunia) ini tidak bisa menampung pemberian yang Dia kehendaki kepada mereka. Juga karena Dia hendak memuliakan mereka dengan tidak mau memberikan balasan di negeri yang tidak kekal ini.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Dunia tidak bisa menampung segala kenikmatan indrawi maupun maknawi. Pertama, karena dunia ini sempit. Seperti disebut dalam khabar, di akhirat Allah memberikan kepada setiap mukmin sebuah kerajaan yang luasnya sepanjang perjalanan selama tujuh ratus tahun. Bagaimana halnya dengan orang-orang mukmin yang khusus (khawwash)? Tentu jarak dan luas dunia ini tidak akan cukup menampung seluruh pahala mereka.
            Kedua, karena dunia penuh dengan kekurangan, rendah, dan hina. Sementara itu, segala kenikmatan di surga sangat mulia, tinggi, dan berharga. Sebagaimana disebut dalam khabar, tempat satu depa di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Cahaya gelang para bidadari di sana mengalahkan silaunya cahaya matahari.
            Allah ingin memuliakan para hamba-Nya dengan tidak memberikan balasan di dunia, negeri yang tidak kekal ini. Segala hal yang fana, walaupun masanya panjang, akan sirna. Allah akan memberi mereka keabadian dalam nikmat dan kerajaan surga-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 71

“Bukti kebodohan seseorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, dan menyebut semua yang diketahui.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Seorang murid atau seorang ‘arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yang dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Mengapa disebut bodoh? Karena seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan  penguasaan yang baik atas ilmu yang bersangkutan. Dan itu amat mustahil. Allah swt. berfirman, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS.al-Isra’[17]: 85)
            Semestinya, ia juga memerhatikan kondisi penanya karena tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan semacam ini adalah sebuah kebodohan.
            Mengungkapkan semua yang disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yang semestinya disimpan. Orang-orang bijak berkata, “Hati orang-orang merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah pada seorang hamba.”
            Menyebarkan rahasia ke semua orang adalah tindakan khianat atau tidak amanah. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atas perkara-perkara gaib cukup dengan menggunakan isyarat atau anggukan. Bila dijawab dengan kata-kata, itu sama saja dengan mengumumkan dan menyebarkan rahasia ke khalayak ramai. Lagi pula, menjelaskan perkara-perkara gaib dengan kata-kata justru hanya akan membuatnya semakin tidak jelas dan tertutup karea perkara-perkara yang didasarkan pada dzauq (pengalaman perasaan) sulit diungkapkan dengan kata-kata.
            Selain itu, mengungkapkan semua yang diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, diantara ilmu yang diketahuinya itu ada yang tak layak diberitahukan kepada orang lain karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Diantara ilmu ada yang bagaikan mutiara yang berlumuran tanah yang tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yang mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang-orang yang lalai kepada Allah akan menolaknya.”
            Ali bin Al-Husain bin Ali berkata, “Banyak inti ilmu yang jika aku kemukakan semuanya, orang-orang akan menganggapku termasuk penyembah berhala, dan pasti banyak pula orang-orang muslim yang menghalalkan darahku. Oleh karena itu, aku selalu menyembunyikan inti ilmuku agar orang-orang bodoh tidak guncang ketika menyaksikan Yang Maha Haq.”
            Abu Hurairah ra. Berkata, “Aku mendapat dua kantong ilmu dari rasulullah. Satu kantong kusebarkan ke seluruh manusia. Yang lain tidak kusebarkan. Sekiranya kusebarkan, pasti kalian akan menggorok leherku ini.”
            Oleh sebab itu, al-Hallaj dibunuh setelah menyebarkan sedikit rahasia ilmunya. Yaitu, ia berkata, “Di balik jubah ini adalah Allah.” Ini diungkapkannya karena setiap orang yang dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yang ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu. Itulah puncak dari kemampuan mereka dalam mengungkapkan pengalaman mereka. Sebetulnya ini adalah perkara yang tidak bisa diketahui, kecuali lewat dzauq.
            Kebenaran yang dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan  tetapi, itu akan berbeda manakala diungkapkan melalui kata-kata.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 70

“Ada orang-orang yang Allah tetapkan untuk melayani-Nya. Ada pula orang-orang yang Allah pilih untuk mencintai-Nya. “Kepada tiap-tiap golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 20)”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Yang dimaksud dengan “orang-orang yang melayani-Nya” adalah orang-orang yang menaati Allah secara lahir. Mereka adalah para zahid dan ‘abid yang layak menempati surga-Nya. Sementara itu, yang dimaksud dengan “orang-orang yang mencintai-Nya” adalah para muhibbin dan ‘arif yang didekati-Nya dan masuk ke hadirat-Nya. Kedua kelompok ini sama-sama ingin melayani dan mendekatkan diri kepada Allah. Bedanya, kelompok pertama lebih banyak dengan anggota tubuh, sedangkan kelompok kedua lebih banyak dengan hati.
            Pengelompokan ini merupakan kehendak Allah. Oleh karena itu, terlarang bagi hamba yang memahami hal ini untuk meremehkan atau memandang rendah salah satu kelompok tersebut.
            Abu Yazid berkata, “Allah melongok ke dalam hati para wali-Nya. Di antara mereka, ada yang belum layak mengemban makrifat maka Allah akan menyibukkan mereka dengan ibadah.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 69

“Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yang ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang-orang ‘arif atau kegenitan kaum pencinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ditolong ialah dipalingkan dari kesibukan-kesibukan yang membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna “dilanggengkan” disini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zahid dan ‘abid.
            “Tanda orang arif” ialah karakter orang-orang ‘arif yang meninggalkan ikhtiar dan tidak memedulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adapun maksud “kegenitan para pencinta Tuhan” ialah bukti-bukti dan pengaruh cinta yang tampak pada diri orang-orang yang mencintai Allah (muhibbin). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah dengan sering berzikir mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya.
            Ibnu Atha’illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni sudah istikamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda-tanda kaum ‘arif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan kerunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istikamah dalam berwirid.
            “Wirid” bermakna segala amal ibadah yang dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, zikir, maupun ibadah lainnya. Denga demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya.
            Kesimpulannya, hamba-hamba Allah yang khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabun dan abrar. Muqarrabun adalah orang-orang yang tidak memedulikkan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak-hak Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubudiyah) kepada-Nya dalam rangka mencari rida-Nya. Mereka adalah kaum ‘arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, ‘abrar ialah orang-orang yang dalam ibadah mereka masih memedulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka. Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya dan kepada kedua golongan ini sesuai maqam mereka satu mereka masing-masing.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 68

“Diantara tanda kebodohan seorang murid adalah jika bersikap tidak sopan, tetapi hukuman untuknya ditangguhkan, ia justru berkata, “Jika ini adalah sikap tidak sopan, tentu aku sudah tidak ditolong lagi dan dijauhi.” Bisa jadi, ia memang sudah tidak ditolong lagi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungkin bentuknya hanya berupa tidak ditambahnya pertolongan. Bisa jadi pula sebenarnya ia telah dijauhi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungkin bentuknya hanya berupa pembiaran dirinya dengan keinginannya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Bersikap tidak sopan bisa terjadi terhadap Allah, guru, manusia, bisa pula terhadap diri sendiri. Diantara contoh bersikap tidak sopan terhadap Allah adalah melanggar perintah-Nya, menaati aturan selain aturan-Nya, mengeluhkan hukum-hukum-Nya yang dianggap memberatkan, dan mengadukan penderitaannya kepada makhluk.
            Diantara contoh bersikap tidak sopan terhadap guru adalah membangkang dan tidak mau menerima nasihat dan saran mereka.
            Sebagian orang berkata, “Membangkang kepada guru tidak ada tobatnya.”
            Bahkan, ada yang mengatakan, “Siapa yang berkata ‘mengapa’ kepada gurunya maka ia tidak akan pernah beruntung.”
            Al-Qusyairi berkata, “Siapa yang menemani seorang guru, namun kemudian membangkang dalam hatinya, berarti ia telah melanggar akad pertemanan itu dan harus segera bertobat.”
            Jika seorang salik mendapati dirinya belum juga sampai ke tujuannya, hendaknya ia sadar bahwa hal itu mungkin disebabkan oleh pembangkangannya secara diam-diam terhadap guru-gurunya. Karena guru itu ibarat duta bagi para murid di hadapan Tuhan.
            Contoh sikap tidak sopan kepada manusia adalah yang pernah terjadi pada Junaidi saat ia melihat seorang miskin yang meminta-minta kepadanya. Ketika itu, ia membatin, “Sekiranya ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, tentu akan lebih baik.” Akibatnya, wiridnya pada malam itu terasa berat baginya. Ia bermimpi melihat sekelompok orang mendatanginya membawa orang miskin itu di atas meja hidangan. Mereka berseru kepadanya, “Makanlah dagingnya karena kau telah menggibahinya!”
            Akhirnya, Junaidi mencari orang miskin itu. Saat menemukannya, ia pun lantas mengucapkan salam kepadanya. Kemudian, orang miskin itu berkata, “Pulanglah kembali, wahai Abu Qasim!”
            Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap diri sendiri adalah mengedepankan pemenuhan “syahwat yang dihalalkan” daripada kewajiban yang sudah ditetapkan Allah.
            Orang yang bersikap tidak sopan bisa saja tidak segera dihukum. Misalnya, tidak langsung diberi penyakit atau petaka, baik yang menimpa tubuhnya maupun batinnya. Namun, Allah akan menghentikan bantuan kepadanya dan menjauhinya. Itulah awal mula terhijabnya ia dari Allah.
            Seorang murid tidak lagi mendapat pertolongan dan rahmat Allah, ia akan jatuh di hadapan Allah dan terjuntailah tirai hijab di hatinya. Kerinduannya kepada Allah akan berganti menjadi keterasingan. Demikian pula saat seorang murid dijauhi-Nya, akan teruntailah hijab yang menutupi dan menghalangi hatinya masuk ke hadirat-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)