Sabtu, 13 Juni 2015

Al-Hikam 71

“Bukti kebodohan seseorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, dan menyebut semua yang diketahui.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Seorang murid atau seorang ‘arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yang dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Mengapa disebut bodoh? Karena seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan  penguasaan yang baik atas ilmu yang bersangkutan. Dan itu amat mustahil. Allah swt. berfirman, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS.al-Isra’[17]: 85)
            Semestinya, ia juga memerhatikan kondisi penanya karena tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan semacam ini adalah sebuah kebodohan.
            Mengungkapkan semua yang disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yang semestinya disimpan. Orang-orang bijak berkata, “Hati orang-orang merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah pada seorang hamba.”
            Menyebarkan rahasia ke semua orang adalah tindakan khianat atau tidak amanah. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atas perkara-perkara gaib cukup dengan menggunakan isyarat atau anggukan. Bila dijawab dengan kata-kata, itu sama saja dengan mengumumkan dan menyebarkan rahasia ke khalayak ramai. Lagi pula, menjelaskan perkara-perkara gaib dengan kata-kata justru hanya akan membuatnya semakin tidak jelas dan tertutup karea perkara-perkara yang didasarkan pada dzauq (pengalaman perasaan) sulit diungkapkan dengan kata-kata.
            Selain itu, mengungkapkan semua yang diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, diantara ilmu yang diketahuinya itu ada yang tak layak diberitahukan kepada orang lain karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Diantara ilmu ada yang bagaikan mutiara yang berlumuran tanah yang tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yang mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang-orang yang lalai kepada Allah akan menolaknya.”
            Ali bin Al-Husain bin Ali berkata, “Banyak inti ilmu yang jika aku kemukakan semuanya, orang-orang akan menganggapku termasuk penyembah berhala, dan pasti banyak pula orang-orang muslim yang menghalalkan darahku. Oleh karena itu, aku selalu menyembunyikan inti ilmuku agar orang-orang bodoh tidak guncang ketika menyaksikan Yang Maha Haq.”
            Abu Hurairah ra. Berkata, “Aku mendapat dua kantong ilmu dari rasulullah. Satu kantong kusebarkan ke seluruh manusia. Yang lain tidak kusebarkan. Sekiranya kusebarkan, pasti kalian akan menggorok leherku ini.”
            Oleh sebab itu, al-Hallaj dibunuh setelah menyebarkan sedikit rahasia ilmunya. Yaitu, ia berkata, “Di balik jubah ini adalah Allah.” Ini diungkapkannya karena setiap orang yang dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yang ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu. Itulah puncak dari kemampuan mereka dalam mengungkapkan pengalaman mereka. Sebetulnya ini adalah perkara yang tidak bisa diketahui, kecuali lewat dzauq.
            Kebenaran yang dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan  tetapi, itu akan berbeda manakala diungkapkan melalui kata-kata.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar