“Tidak disebut ‘arif orang yang jika
memberikan isyarat, ia merasa Allah lebih dekat daripada isyaratnya. Namun,
orang ‘arif adalah orang yang tidak mempunyai isyarat karena telah sirna dalam
wujud-Nya dan lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
“Memberi isyarat” ialah menunjukkaan
sebagian rahasia Allah dengan isyarat. “Merasa Allah lebih dekat” berarti ia
merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah gaib, bahkan serasa
Allah memerhatikannya saat ia menunjukkan sebagian rahasia Ilahi itu.
Tentu, orang seperti ini bukanlah
seorang ‘arif yang sesungguhnya
karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti
orang yang mahjub, karena
mengandaikan adanya wujud sebanyak “yang menunjukkan”, wujud objek “yang
ditunjukkan”, dan wujud media “yang digunakan untuk menunjukkan”. Selama ia sadar
dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yang
ditunjukkan melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa
dirinya sirna dan fana karena ia belum keluar dari ranah indranya.
Isyarat lebih halus bentuknya
daripada ungkapan karena ia sekedar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap
digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berzikir. Mereka telah
dibukakan oleh Allah rahasia-rahasia tauhid, ilmu laduni, dan
pengalaman-pengalaman yang didapat melaui perasaan.
Orang yang mengisyaratkan sesuatu,
namun selalu memerhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat
kepadanya dan tidak gaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian
terhadap-Nya. Orang ‘arif
sesungguhnya ialah orang yang tampak tidak memiliki isyarat sama sekali
walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana dalam
wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.
Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yang sirna
dari isyarat, yang diisyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat
darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yang
mengisyaratkan dan yang diisyaratkan saat itu hanya Allah swt. Di sini ia
sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari
sana. Maka dari itu, siapa yang melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan
melihat dirinya sendiri.
Syekh Yusuf al-‘Ajami berkata,
“Siapa yang berbicara di maqam
peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yang berbicara adalah Yang Maha Haq melaui lisan hamba-Nya.”
Ini sesuai dengan firman Allah dalam
sebuah hadis qudsi, “Dengan-Ku, dia
(hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara.”
Seorang dari mereka ditanya tentang kefanaan diri
(peleburan diri). Ia menjawab, “Keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri
seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan zikir, dan ia merasa fana dari segala sesuatu; akalnya,
dirinya, bahkan fana dari kefanaan itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam
keagungan Ilahi.”
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar