Minggu, 14 Juni 2015

Al-Hikam 78

“Tidak disebut ‘arif orang yang jika memberikan isyarat, ia merasa Allah lebih dekat daripada isyaratnya. Namun, orang ‘arif adalah orang yang tidak mempunyai isyarat karena telah sirna dalam wujud-Nya dan lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            “Memberi isyarat” ialah menunjukkaan sebagian rahasia Allah dengan isyarat. “Merasa Allah lebih dekat” berarti ia merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah gaib, bahkan serasa Allah memerhatikannya saat ia menunjukkan sebagian rahasia Ilahi itu.
            Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang ‘arif yang sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti orang yang mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak “yang menunjukkan”, wujud objek “yang ditunjukkan”, dan wujud media “yang digunakan untuk menunjukkan”. Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yang ditunjukkan melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana karena ia belum keluar dari ranah indranya.
            Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia sekedar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah rahasia-rahasia tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman-pengalaman yang didapat melaui perasaan.
            Orang yang mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memerhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak gaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya. Orang ‘arif sesungguhnya ialah orang yang tampak tidak memiliki isyarat sama sekali walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.
            Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yang sirna dari isyarat, yang diisyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yang mengisyaratkan dan yang diisyaratkan saat itu hanya Allah swt. Di sini ia sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari sana. Maka dari itu, siapa yang melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan melihat dirinya sendiri.
            Syekh Yusuf al-‘Ajami berkata, “Siapa yang berbicara di maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yang berbicara adalah Yang Maha Haq melaui lisan hamba-Nya.”
            Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadis qudsi, “Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara.”
            Seorang dari mereka ditanya tentang kefanaan diri (peleburan diri). Ia menjawab, “Keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan zikir, dan ia merasa fana dari segala sesuatu; akalnya, dirinya, bahkan fana dari kefanaan itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam keagungan Ilahi.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar