“Pangkal segala maksiat, kelalaian,
dan syahwat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala
ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri
sendiri”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Maksiat berarti menentang semua
perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak
sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap
sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah swt.
Menurut orang-orang ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah
sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong
seseorang berusaha menutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan
dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik
semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang
menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga,
hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan-bisikan
syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang dikuasai oleh
syahwat, tentu akan mudah terjerumus maksiat.
Adapun ketaatan berarti melaksanakan
segala perintah Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan
hal-hal yang diridai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihan dari
syahwat.
Pangkal dari segala ketaatan dan
kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang
tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua
kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Siapa yang bersifat seperti
ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala hal yang datang dan
menyerang.
Dengan sikap waspada dan sadar diri
ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan-bisikan hatinya.
Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya.
Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan
Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah.
Sikap puas terhadap keadaan diri
sendiri adalalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau
mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah melarang kita untuk
berteman dengan orang-orang semacam itu.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar