“Bagaimana bisa Tuhan terhalang
sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan
terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu? Bagaimana mungkin
Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana bisa
Tuhan terhalang segala sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang segala sesuatu, padahal Dia tampak sebelum
keberadaan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang segala sesuatu,
padahal Dia lebih tampak dari pada segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan
terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersama-Nya? Bagaimana
mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala
sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika bukan karena
Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, bagaimana mungkin
keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan (‘adam)? Atau, bagaimana bisa
sesuatu yang baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Allah menampakkan segala sesuatu
dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam
segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung
pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya
terselubung dan tidak tampak. Tindakan “menampakkan” meniscayakan penampakan
Dzat yang melakukannya. Allahlah yang menampakkan segala sesuatu agar
orang-orang yang berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.
Allah swt. berfirman, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala
sesuatu? (QS. Fushilat [41]: 53)
Menurut ahli syuhud,
Allah tampak pada segala sesuatu dengan penampakan dzat-Nya. Sementaraitu,
menurut ahli hijab, Dia tampak pada
segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asma’-Nya.
Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna-makna asma’ dan sifat-Nya. Pada benda atau orang mulia, tampaklah sifat
Mahamulia (‘aziz) milik-Nya dan pada
benda atau orang yang hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (mudhill) milik-Nya.
Pada setiap makhluk hidup tampak
jelas sifat Maha Menghidupkan (muhyi)
milik-Nya. Saat Allah mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha mematikan (mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat
Maha Memberi (mu’thi). Saat menahan
pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (mani’).
Saat member karunia. Tampak sifat Maha Memberi Karunia (karim). Saat mengabulkan do’a, tampak sifat Maha Pengabul Do’a (muib). Saat menimpakan bahaya atau
mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (dharr) dan Maha Pemberi Manfaat (nafi’), dan sebagainya.
Bagaimana bisa Allah terhalangi
sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa
dikenali. Karena itulah, seluruh alam semesta bersujud dan bertasbih
kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua
makhluk di ala mini, baik yang bernyawa maupun yang tidak, mengenali Allah,
namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah yang dilihatnya. Jika ada
makhluk yang tidak mengagungkan Allah sesuai kadar keagungan-Nya, maka hal itu
disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena
ketiadaan makrifat sama sekali.
Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi
sesuatu, sedangkan Dia Zhahir sebelum
segala sesuatu? Karena asma’-Nya
sudah tampak sejak azali. Kemunculan
Allah sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (zhahir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak
diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat
kemunculan Allah di sana dengan sifat zhahir-Nya.
Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?
Bagaimana bisa Allah terhalangi
sesuatu, padahal Dia lebih tampak dari pada segala sesuatu? Karena dalam setiap
kondisi, wujud (keberadaan) lebih
tampak dari pada ‘adam (ketiadaan),
juga karena kemunculan substansial lebih kuat dari pada kemunculan aksidental.
Kemunculan yang bersumber dari diri sendiri lebih kuat dari pada kemunculan
yang diakibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat dari pada kemunculan
relatif. Kemunculan yang abadi lebih kuat dari pada kemunculan yang fana.
Wujud Tuhan tidak diketahui akal
karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu takkan bisa
diketahui oleh orang-orang lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yang hanya
mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan disiang hari ia tidak mampu melihat
apa-apa. Hal itu disebabkan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu,
penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya
matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yang menjadi
sebab kelelawar tak mampu melihat disiang hari.
Seperti itulah akal, ia amat lemah
di hadapan kemunculan Ilahi yang sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya
kemunculan Ilahi inilah yang menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala
sesuatu.
Bagaimana mungkin sesuatu akan menghalangi
Allah, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatupun yang bersama-Nya? Karena
segala sesuatu selain Allah tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak
ada sesuatupun yang dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik
Allah, bukan milik selain-Nya.
Bagaimana mungkin Allah terhalangi
sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu
meliputi dan mengaturmu. Allah swt. berfirman, “Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf
[50]: 16)
Menurut ahli syuhud, Dzat Allah amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada kita dalam
pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain.
Bagaimana bisa Allah terhalangi
sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai-sampai para musyahidun (yang menyaksikan Allah)
menjadikan Allah sebagai dalil untuk bisa membuktikan keberadaan segala
sesuatu.
Allah swt. berfirman, “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu)
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushilat [41]: 53)
Sesungguhnya
aneh, bagaimana mungkin wujud
(keberadaan) tidak tampak dalam ‘adam
(ketiadaan)? ‘Adam adalah kegelapan,
sedangkan wujud adalah cahaya.
Keduanya mudah dibedakan.
Bagaimana bisa sesuatu yang baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha
Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin
sesuatu yang baru muncu bersamaan dengan yang memiliki sifat qidam. Yang baru itu bathil, sedangkan Allah itu Haq (Mahabenar). Kebatilan akan sirna
dengan adanya kebenaran.
Allah swt. berfirman, “Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang
dan yang bathilntelah lenyap.’ Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang
pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’ [17]: 81)
Sosok yang lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah swt. bukan alam semesta. Tak
ada yang berwujud, kecuali Allah karena Dia yang tampak dan menampakkan, yang maujud dan berbedaa dari segala
penampakan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan bernada
keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yang pernah merasakan
syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat
pengalaman syuhud yang dirasakan
seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar