Rabu, 21 Januari 2015

Al-Hikam 10

“Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Amal itu ibarat jasad tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para ‘abid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat riya’ yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat yang didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa yang mereka inginkan.
            Sementara itu bentuk keikhlasan para muhibbin (pecinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yang dituju sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah; yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut siksa-Nya.
            Oleh sebab itu, Rabi’ah al-Adawiyah berkata, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu”.
            Sementara itu, keikhlasan para ‘arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah semata yang menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para ‘arif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 9

“Jenis amal itu bermacam-macam, karena asupan hati juga beragam”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Yang dimaksud asupan hati adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yang masuk kedalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat-sifat dan ahwal (keadaan) terpuji. Ada yang membuahkan karisma. Ada yang mendorong kelembutan dan ada pula yang memupuk kedermawanan.
            Kerap kali kaudapati seorang murid rajin shalat, ada pula yang rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asupan ilahi yang mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan guru, ia tidak boleh beramal kecuali dengan izin guru.
            Kesimpulannya beragam wirid dan zikir yang dilakukan para murid adalah akibat dari beragamnya asupan yang masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai asupan hatinya atau sesuai bimbingan gurunya. 

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 8

“Jika Tuhan membukakan untukmu pintu makrifat, jangan kau pertanyakan amalmu yang sedikit. Karena Dia tidak akan membukakan pintu makrifat, kecuali karena ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tahukah kau bahwa makrifat merupakan anugerah-Nya untukmu, sedangkan amalmu adalah persembahan untuk-Nya. Tentu, persembahanmu takkan sebanding dengan anugerah-Nya”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Dalam perjalanan menuju Tuhannya,  seorang salik harus memperbanyak amal untuk menekan dorongan-dorongan nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah. Di sisi lain, seorang salik dituntut juga untuk ber-mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di sela-sela itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid yang diharuskan. Sehingga iapun diterpa kegalauan dan frustasi, bahkan mungkin pula tergerak untuk meninggalkan semuanya. Padahal, disaat yang sama ia telah sampai pada satu tahapan makrifatullah.
            Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah menasihatinya bahwa jika Allah membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat, seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya, maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yang dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah mengasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena memang ia sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.
            Allah membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memberimu karunianya, mendekatimu, dan menampakkan sifat-sifat dan asma’-Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung untukmu dibandingkan amal lahirmu untuk-Nya.
            Kesimpulannya, amal ibadah yang sedikit namun diiringi makrifat lebih baik dari pada amal ibadah yang banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapat makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia juga harus lebih memedulikan makrifat tersebut ketimbang amal-amal lahir yang dilakukannya. Oleh sebab itu, amalan lahir para ‘arif yang dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun. Mereka selalu merindukan masa-masa dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yang mereka lakukan.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Rabu, 14 Januari 2015

Al-Hikam 7

“Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya qalbumu”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Jika Allah menjanjikanmu melalui mimpi, ilham, atau melalui perantara malaikat-Nya bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan, lalu janji itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji-Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah yang tahu hikmah dibalik itu.
Contohnya, yang terjadi pada beberapa wali Allah, yang dijanjikan bahwa kelak, ditahun sekian, mereka akan meraih kemuliaan. Namun kemudian, pada tahun yang dijanjikan itu, orang-orang justru banyak menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yang terjadi pada Rasulullah saw di tahun perjanjian Hudaibiyah. Saat itu rasulullah saw dijanjikan Allah mendapat kemenangan. Namun ternyata, kemenangan tersebut tidak terjadi pada tahun itu, tetapi ditahun sesudahnya.
Jika seorang murid mendapat janji dari Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan terhadap Tuhan-Nya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah keyakinan menghadapinya. Barang siapa yang melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhan-Nya (‘arif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal Tuhan-Nya, memiliki pandangan yang rusak, dan berhati gelap.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 6

“Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu, pada waktu yang diinginkan-Nya, bukann pada waktu yang kau inginkan”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Allah Swt menegaskan bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al-Mu’min [40]: 60)
            Do’a yang pengabulannya ditunda, mungkin lebih baik bagi seorang murid daripada do’a yang pengabulannyadisegerakan. Karena bisa jadi, penundaan do’a itu ditujukan agar ia semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah. Dalam situasi ini, biasanya setan akan datang dan membisikinya, “jika benar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan do’amu, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu yang buruk,dan mewujudkan segala keinginanmu”. Sehingga sang murid pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan do’a itu adalah lebih baik baginya.
            Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan do’a tersebut disebabkan oleh sifat buruk sang murid yang terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dalam waktu yang lama, sehingga mujahadah dan riyadhah yang dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan do’a-do’anya.
            Orang-orang ‘arif mengumpamakan ala mini dengan tanah yang dipenuhi tumbuhan berduri. Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil, sedikit dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang panjang. Terkadang sifat-sifat itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu yang lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utama seorang murid adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu lama dan berakhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangannya selama masa itu tidaklah seberapa dibandingkan dengan tujuan utama itu.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Sabtu, 03 Januari 2015

Al-Hikam 5

“kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Maksud dari “apa yang telah dijamin” ialah rezeki dan karunia Allah. Allah swt berfirman, “dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang member rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS.al-‘ankabut [29]:60)
            Sementara itu maksud dari “kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu” ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu seperti zikir, shalat, dan wirid. Allah swt berfirman, ”dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariyat [51]:56)
            Yang dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha member makan ruh dengan zikir-zikir kepada Allah dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya; bukan member makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.
            Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.
            Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “kegigihan” untuk menyatakan bahwa mencari rezeki yang dilakukan sekedarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 4

“Istirahatkanlah dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Seseorang kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yang telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakan itu tidak berhasil terwujud.
            Dengan menggunakan lafal “istirahat”, Ibnu Atha’illah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan atau pengaturan tersebut ditujukan untuk sekedar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, “perencanaan adalah setengah dari kehidupan”.
            Urusan-urusan yang telah diatur Allah hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa yang telah ditangani Allah karena tindakan semacam itu termasuk sikap “sok tahu” yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rububiyah (kepengaturan) dan takdir Allah, selain juga bisa melalaikan ibadah.
Hikmah diatas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan zikir-zikir dan ibadah-ibadahnya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah setan datang dan membisikkanya, mengiming-imingi dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasaan zikir dan ibadah. Tips untuk menghindari hal itu ialah banyak berzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan zikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini itu yang membuatnya letih.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 3

“Tekad yang kuat takkan mampu menembus dinding takdir”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Tekad adalah kekuatan jiwa yang bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah.
            Hikmah diatas menguatkan hikmah sebelumnya dan sesudahnya. Seakan Ibnu Atha’illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala didalam hatimu yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usahamu sendiri dan pasti berhasil.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 2

“Keinginanmu untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan kenginanmu untuk masuk kedalam kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja dengan mundur dari tekad luhur”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Tajrid adalah sebuah kondisi dimana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yang dimaksud kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang.
Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk kaujalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.
            Dianggap “syahwat” karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaanmu, yaitu mencari penghidupan duniawi.
Orang-orang ‘arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yang diberikan oleh manusia.
Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhi semua sandang panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap terus bisa beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena, kau sekarang cenderung bergantung pada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung pada sang Khalik.
Sebenarnya, berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yang wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah) ialah tetap diam di tempat yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah untuknya, sampai Allah sendiri yang mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Kamis, 01 Januari 2015

Al-Hikam 1

“Di antara tanda sikap mengandalkan amal ibadah ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Amal yang dimaksud disini ialah amalal ibadah, seperti shalat dan zikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah (bukan pada Allah SWT secara murni). Mereka itu adalah para ‘abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amala ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik (‘arif). Mereka tidak sedikitpun bergantung pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah swt semata, sedangkan mereka hanya objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah swt.
Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha’illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, disaat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah yang Maha Rahmat yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkan nya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap masuk golongan ‘abid atau murid. Namun, apabia merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan ‘arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan ‘arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah, golongan ‘arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Tetapi itu semua juga karena kehendak dan kekuasaan Allah jua. Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) ‘arif dengan banyak melakuan olah batin (riyadhah) dan wirid.
Melalui hikmah diatas, Ibnu Atha’illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah, termasuk bergantung pada amal ibadah.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)