“Keinginanmu
untuk lepas dari kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah menempatkanmu di
sana, termasuk syahwat yang tersamar. Dan kenginanmu untuk masuk kedalam
kesibukan urusan duniawi, padahal Allah telah melepaskanmu dari itu, sama saja
dengan mundur dari tekad luhur”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Tajrid adalah sebuah kondisi dimana
seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, isytighal adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki kesibukan
duniawi. Dan yang dimaksud kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang
tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang.
Keinginanmu
untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah
dalam menjalaninya, padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk
kaujalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak
tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaaan batinmu juga tidak terganggu, maka
keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.
Dianggap
“syahwat” karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih
kehendakmu sendiri. Disebut “tersamar” karena sekalipun pada lahirnya
keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun
keinginan batinmu yang sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan
ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan.
Untuk itulah, kau pun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasaanmu,
yaitu mencari penghidupan duniawi.
Orang-orang
‘arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh
bagi murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi
kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yang
diberikan oleh manusia.
Sebaliknya,
keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi,
padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah
payah, misalnya dengan dipenuhi semua sandang panganmu, dan kau pun tetap
merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap terus bisa beribadah
dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur.
Karena, kau sekarang cenderung bergantung pada makhluk, padahal sebelumnya kau
bergantung pada sang Khalik.
Sebenarnya,
berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat
tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yang wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah) ialah
tetap diam di tempat yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah untuknya,
sampai Allah sendiri yang mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak
keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan
sehingga ia akan tercebur ke lautan keterasingan dan jauh dari Allah.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar