Jumat, 23 Oktober 2015

Alhikam 30 (Buku Kedua)

“Bisa jadi cahaya hakikat meredup apabila kau belum diberi izin untuk menampakkannya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Apabila kau tidak diberi izin untuk menampakkan hakikat, bisa jadi hakikat yang berupa ilmu dan makrifat itu akan meredup dan diselimuti kegelapan akibat pandanganmu terhadap kebendaan. Akibatnya, telinga para pendengar akan menolaknya dan hati mereka mengingkarinya.
Abu al-Abbas al-Mursi berkata, “Ucapan orang yang diberi izin untuk berbicara diselimuti keindahan, sedangkan ucapan orang yang tidak diberi izin bercahaya redup. Jika kedua orang itu berbicara tentang satu hakikat, ucapan orang yang pertama diterima, sedangkan ucapan orang yang kedua ditolak…”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 29 (Buku Kedua)

“Siapa yang diizinkan untuk berbicara, penjelasannya mudah dipahami dan keterangannya jelas.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Orang ‘arif yang diizinkan berbicara tentang hakikat-hakikat, yaitu berupa ilmu-ilmu yang diberikan Allah tanpa perantara maka penjelasannya akan mudah dipahami. Tanda seorang ‘arif diizinkan berbicara ialah, ia merasa mudah mengungkapkan apa yang ingin diungkapkannya tanpa perlu bersusah payah. Lidahnya lancer mengucapkan kata-kata tentang ilmu-ilmu itu tanpa kekurangan dalam berbicara.
Tanda lainnya yang bisa dilihat ialah, penjelasannya mudah dipahami dan amat jelas sehingga tidak perlu diulang-ulang. Keterangannya lebih lembut daripada ungkapan yang biasa digunakan ahli tarekat dalam memberitakan tentang ilmu-ilmu batin dan hakikat makrifat. Lain halnya dengan orang yang tidak diizinkan berbicara.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 28 (Buku Kedua)

“Setiap ungkapan yang terucap dibungkus oleh corak qalbu yang menjadi tempat keluarnya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Setiap ungkapan yang terucap akan dibungkus oleh pakaian hati. Jika hati bersinar oleh cahaya, setiap ucapan yang keluar akan dibungkus oleh cahaya itu sehingga semua pendengaran tidak akan menolaknya dan seluruh hati tidak mengingkarinya. Pakaian yang membungkus ungkapan itulah cahaya yang keluar dari hati.
Ucapan orang bijak muncul dengan dibungkus oleh cahaya sehingga hati manusia yang tertutup akan terbuka dan mereka dengan mudah menerima seruannya. Sebaliknya, ucapan orang-orang yang mengaku bijak disertai kegelapan sehingga tak seorangpun yang mengambil manfaat darinya. Manfaat bisa saja didapat hanya dari isi ucapannya, bukan dari siapa yang mengucapkannya karena Allah menguatkan agama kita ini dengan ucapan seorang lelaki yang durjana sekalipun.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 27 (Buku Kedua)

“Cahaya orang bijak mendahului ucapan mereka. Ketika cahaya terpancar, nasihat itu pun akan sampai.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Cahaya orang-orang bijak atau ‘arif yang mengenal Allah mendahului ucapan mereka. Cahaya orang-orang ‘arif maksudnya adalah cahaya makrifat mereka, yaitu kekuatan keyakinan mereka bahwa semua perkara ada di tangan Allah dan tiada sekutu bagi-Nya. Jika mereka ingin membimbing seorang hamba Allah dan memberi nasihat kepadanya dengan izin Allah, mereka segera menghadap Allah dan meminta bantuan-Nya untuk mengatur hati hamba itu supaya siap menerima apa yang dinasihatkan kepada mereka. Saat itulah, dari qalbu orang-orang ‘arif itu akan keluar cahaya yang bersumber dari batin mereka dan sampai ke hati hamba tersebut.
Ketika cahaya masuk ke hati hamba Allah yang ingin dinasihatinya, nasihat dan ungkapan mereka akan mudah diterima oleh hatinya, seumpama bumi tandus yang menerima hujan. Dengan begitu, ia akan mendapatkan manfaat yang sempurna dari mereka.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 26 (Buku Kedua)

“Siapa yang berbicara (mengajar) karena memandang kebaikan dirinya, ia akan berhenti ketika berbuat salah. Namun, siapa yang berbicara karena memandang anugerah Allah padanya, ia tidak akan berhenti ketika berbuat salah.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Siapa yang berbicara tentang ilmu satu kaum dan memberitahukannya kepada murid karena memandang kebaikan dirinya atau karena melihat bahwa ungkapannya tentang ilmu itu bersumber dari kebaikan atau amal salehnya, ia akan berhenti ketika berbuat salah. Ia akan berhenti bicara ketika ia bermaksiat karena malu dengan maksiatnya. Penyebabnya adalah karena memandang kebaikan dirinya saat berbicara. Saat kebaikan itu hilang, bicaranya pun terhenti.
Namun, siapa yang berbicara karena memandang hamparan kebaikan Allah atau memandang bahwa ungkapan dan pemberitahuannya tentang ilmu itu bersumber dari kebaikan Allah dan tidak memandang diri sendiri, ia tidak akan diam ketika berbuat salah. Ia tidak akan berhenti bicara ketika ia melakukan maksiat. Hal itu dikarenakan sikapnya yang tidak memandang diri sendiri dan hanya melihat keesaan dan kekuasaan Tuhannya, membuatnya berani untuk terus berbicara.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 25 (Buku Kedua)

“Di antara tanda Dia menempatkanmu pada satu kedudukan adalah ketika Dia menempatkanmu di dalamnya disertai buah yang nyata.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Di antara tanda bahwa Allah menempatkanmu dalam satu keadaan, antara bekerja atau menyucikan diri dengan ibadah, adalah ketika Dia memudahkanmu mendapat sebab-sebabnya dan melestarikanmu di sana. Dia menempatkanmu di sana dengan memberimu buah yang nyata dari perbuatan itu, seperti selamatnya agama atau adanya keuntungan dari hasil pekerjaanmu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 24 (Buku Kedua)

“Bisa jadi, karamah diberikan kepada orang yang belum benar-benar beristikamah.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Bisa jadi, karamah atau perkara luar biasa diberikan kepada orang-orang yang belum sempurna istikamahnya. Oleh sebab itu, seorang murid tidak layak memedulikannya dan mengharap kemunculannya. Mungkin, keistimewaan yang diberikan tersebut hanyalah pertolongan, bukan karamah sebenarnya. Karamah sebenarnya adalah kesempurnaan istikamah. Sumbernya ada dua: kebenaran iman kepada Allah dan pelaksanaan terhadap apa yang dibawa Rasulullah secara lahir maupun batin.
Oleh karena itu, yang wajib bagi seorang murid adalah tidak memedulikan dan mengharap, kecuali dua hal itu. Ia tidak boleh memiliki tekad lain, kecuali untuk meraihnya. Adapun karamah, yang berarti kemampuan luar biasa, tak pernah dibincangkan oleh para muhaqqiq.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 23 (Buku Kedua)

“Tampakkan sifat-sifatmu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya. Tampakkan kehinaanmu, niscaya Dia membantu dengan kemuliyaan-Nya. Tampakkan kelemahanmu, niscaya Dia membantu dengan kekuasaan-Nya. Tampakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantu dengan daya dan kekuatan-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Tunjukkan sifat-sifatmu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya. Wujudkan sifat kehinaanmu, niscaya Dia akan memberimu kemuliaan-Nya sehingga kau akan menjadi mulia, bukan dengan dirimu sendiri. Wujudkan sifat kelemahanmu, niscaya Dia akan membantumu dengan kekuatan-Nya sehingga kau mampu berbuat apa saja, bukan dengan dirimu sendiri. Tampakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantumu dengan kekuatan-Nya, bukan dengan kekuatan dirimu sendiri.
Demikian pula jika kautampakkan kebutuhan dan kemiskinanmu, Dia akan membantumu dengan kekayaan-Nya. Seandainya kau duduk di permadani kehinaan, lalu kaukatakan, “Wahai Yang Mahamulia, siapa lagi yang memberi kemuliaan kepada yang hina selain diri-Mu?” kau duduk di permadani kelemahan, lalu kau katakana, “Wahai Yang Mahakuasa, siapa yang memberi kuasa kepada yang lemah selain diri-Mu?” kau duduk di atas permadani ketidakberdayaan, lalu kaukatakan, “Wahai Yang Mahakuat, siapa yang memberi kekuatan kepada yang lemah selain diri-Mu?” kau duduk di permadani kemiskinan dan kesulitan sambil berkata, “Wahai Yang Mahakaya, siapa yang memberi kekayaan kepada orang yang miskin selain diri-Mu?” niscaya kau akan mendapatkan jawaban seakan jawaban itu datang berdasarkan kehendak dan keinginanmu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 22 (Buku Kedua)

“Jika kau mengharapkan datangnya karunia, luruskan rasa papa dan butuh pada dirimu karena ‘sedekah hanya diberikan kepada mereka yang fakir (butuh).’”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Jika kau ingin mendapatkan karunia Allah, luruskan rasa miskin dan butuh pada dirimu. Caranya adalah dengan mewujudkan keduanya pada dirimu secara total sehingga kau tidak lagi membutuhkan selain-Nya dengan cara apa pun. Saat itulah, karunia Ilahi akan datang kepadamu. Ini sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir…” (QS.at-Taubah [9]: 60)


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 21 (Buku Kedua)

“Ragam ujian merupakan hamparan anugerah.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Ragam ujian seumpama hamparan permadani yang dipenuhi karunia dan pemberian Ilahi bagi yang duduk di atasnya. Sebagaimana halnya orang yang duduk di atas permadani raja, ia tentu akan mendapatkan kenikmatan yang diberikan raja kepadanya.
Ujian yang berupa kesulitan membuatmu selalu hadir bersama Tuhanmu dan mendudukkanmu di permadani ketulusan. Pada saat hadir itulah, kau akan diberi karunia rabbani dan embusan kasih sayang-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 20 (Buku Kedua)

“Barangkali, pada saat sulit, kau mendapatkan tambahan karunia yang tidak kautemukan dalam puasa dan shalat.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Wahai murid, barangkali saat kau mengalami kesulitan, kau mendapatkan tambahan karunia berupa kesucian batin, cahaya, dan makrifat yang tidak kau dapatkan pada puasa dan shalat karena bisa jadi puasa dan shalat yang kau lakukan lebih didasari keinginan nafsumu dan keuntunganmu.
Ibadah seperti ini adalah ibadah yang tidak terbebas dari kekurangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menyucikan hati. Disaat sulit, hawa nafsu dan syahwat tertahan. Oleh karena itu, saat sulit, karunia yang didapat seorang hamba lebih banyak daripada yang didapatnya dalam puasa dan shalat.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 19 (Buku Kedua)

“Datangnya beragam kesukaran merupakan hari raya bagi para murid.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Hari raya adalah hari di saat kebahagiaan meliputi seluruh orang. Bagi para murid, kesukaran adalah hari raya yang mendatangkan kebahagiaan. Para murid merasa bahagia dengan kesukaran karena kesukaran dapat mempercepat sampainya mereka kepada tujuan. Selain itu, di dalam kesukaran terkandung penghinaan dan pembatasan hawa nafsu. Orang-orang awam amat senang dengan kedatangan hari raya karena mereka bisa mendapatkan keinginan hawa nafsunya, berupa makanan lezat, pakaian baru, dan lain sebagainya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 18 (Buku Kedua)

“Yang perlu diingatkan adalah yang bisa lupa dan yang perlu ditegur adalah yang mungkin teledor.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Yang perlu diingatkan dengan do’a dan permintaan adalah yang bisa lupa dan tidak menyadari ada yang meminta. Yang perlu ditegur adalah yang mungkin teledor dan tidak teliti. Sifat lupa dan teledor ini amat mustahil bagi Allah. oleh sebab itu, tidak meminta kepada Allah, menurut orang-orang ‘arif adalah adab karena tanpa diminta dan diingatkan pun Allah tidak akan lupa dan teledor.
Al-Wasithi pernah diminta untuk berdo’a maka jawabannya, “Aku takut jika aku berdo’a dikatakan kepadaku, ‘Jika kau meminta Kami apa yang kaumiliki pada Kami, berarti kau menuduh Kami. Jika kau meminta apa yang tak kaumiliki, berarti kau telah buruk dalam memuji Kami. Jika kau rela dan ridha, Kami akan memberimu berbagai perkara yang telah Kami putuskan sepanjang masa.’”

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Rabu, 21 Oktober 2015

Alhikam 17 (Buku Kedua)

“Terkadang, adab membuat orang-orang ‘arif tidak meminta karena mereka telah bersandar kepada pembagian-Nya dan sibuk mengingat-Nya sehingga lupa meminta kepada-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Maksudnya, orang ‘arif terkadang diliputi sikap pasrah dan tawakkal sehingga tidak mau meminta kepada Allah karena merasa cukup dengan pembagian dan ketetapan azali. Di antara orang yang kita lihat benar-benar meraih maqam ini adalah Syekh Musthafa Afandi at-Turki al-Qasthimuni al-Jarkasi.
Orang-orang berbeda pendapat, manakah yang lebih utama: berdo’a kepada Allah ataukah hanya diam dan rela dengan pembagian-Nya? Di antara mereka ada yang berkata, “Do’a lebih utama karena di dalam do’a terkandung ibadah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. “Do’a adalah inti ibadah” melaksanakan sesuatu yang mengandung unsur ibadah lebih utama daripada meninggalkannya.”
Adapula yang berpendapat bahwa diam dan pasrah terhadap hukum dan ketetapan Allah lebih utama dan lebih sempurna karena hal yang sudah dipilihkan Allah untukmu lebih baik daripada pilihanmu sendiri. Dalam hadis qudsi disebutkan, “Siapa yang zikirnya kepada-Ku membuatnya sibuk sehingga tidak meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya yang lebih baik daripada yang Kuberikan kepada orang yang meminta.”
Sebagian orang berkata, “Waktu itu bermacam-macam. Jika seseorang merasakan dorongan untuk berdo’a di hatinya, seperti kelapangan dan kekhusyukan, do’a baginya lebih utama. Namun, jika ia merasakan di hatinya dorongan untuk diam, seperti tidak khusyuk atau gelisah, diam baginya lebih baik. Apabila ia tidak mendapati dorongan apa pun di hatinya, berdo’a ataupun tidak berdo’a sama saja baginya. Namun, jika yang mendominasi kala itu adalah makrifat, diam lebih baik.”
Ibnu Atha’illah menegaskan ucapannya tentang adab di atas dengan menyatakan bahwa terkadang adab itu terpelihara pada saat seseorang tidak meminta.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 16 (Buku Kedua)

“Kepada kehendak-Nya segala sesuatu bergantung, sementara kehendak-Nya tidak bergantung pada sesuatu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Setiap yang memiliki wujud bersandar kepada kehendak Allah karena kehendak Allah sudah ditetapkan sejak azali. Sementara itu, kehendak Allah tidak bergantung pada sesuatu yang memiliki wujud.
“Kehendak Allah” bermakna sesuatu yang diputuskan sejak azali dan padanya bergantung keinginan hamba yang sudah diketahui Allah, karena permintaan hamba dengan do’a dan amal saleh tidak menjadi sebab yang memengaruhi kehendak Allah itu.
Ungkapan Ibnu Atha’illah di atas adalah ungkapan yang amat tepat. Di dalamnya terkandung isyarat adanya ketergantungan segala sesuatu pada putusan-putusan azali dan dikesampingkannya sebab-sebab. Oleh karena itu, seorang hamba harus senantiasa melakukan ‘ubudiyah, merasa butuh kepada-Nya, dan mengabaikan pengaturan dan pilihan dirinya.
Abu bakar al-Wasithi berkata, “Sesungguhnya Allah tidak mendekati seorang fakir karena kefakirannya dan tidak menjauhi seorang kayak arena kekayaannya. Allah tidak peduli dengan berbagai keadaan hamba untuk memberi atau menahan karunia-Nya. Sekiranya dunia dan akhirat dikerahkan  untuk bisa sampai kepada-Nya, niscaya tidak akan membuatmu sampai kepada-Nya. Jika kausingkirkan keduanya pun, niscaya tidak akan memutus jalanmu kepada-Nya, tidak memutus jalan orang-orang yang mendekati-Nya tanpa sebab, dan tidak menjauhkan orang yang menjauhi-Nya tanpa sebab. Allah swt. berfirman, ‘Barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.’” (QS. an-Nur [24]: 40)


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 15 (Buku Kedua)

“Allah mengetahui bila hamba ingin agar rahasia pertolongan-Nya tampak. Dia berfirman, ‘Dia yang menentukan rahmat-Nya untuk siapa yang Dia kehendaki.’ Allah juga mengetahui bila mereka dibiarkan begitu saja, tentu mereka tidak akan beramal karena bersandar pada keputusan azali. Oleh karena itu, Dia berfirman, ‘Sesungguhnya rahmat Allah akan sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.’”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

“Rahasia” adalah sesuatu yang tertutup karena ia tersembunyi dari kita. Ketika Allah mengetahui bahwa kita menghendaki pertolongan itu terjadi dan kita memintanya dengan do’a dan amal saleh serta yakin bahwa keduanya berpengaruh pada datangnya pertolongan yang kita inginkan itu, Dia langsung berfirman, “Dia yang menentukan rahmat-Nya untuk siapa yang dikehendaki-Nya.”
Firman Allah ini menghentikan kita dan memutus ketamakan kita karena mungkin pertolongan Allah itu khusus diberikan kepada beberapa manusia saja. Sebagaimana halnya kenabian, ketika orang-orang merindukan datangnya nabi di akhir zaman, banyak orang yang mengaku sebagai nabi. Namun, Allah mematahkan klaim mereka dengan firman-Nya, “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. al-An’am [6]: 124)
Allah juga mengetahui bahwa jika mereka dibiarkan begitu saja setelah mendapati bahwa pertolongan azali itu khusus diterima sebagian orang saja dan bukan untuk umum, niscaya mereka tidak akan beramal karena hanya bersandar kepada putusan azali itu. Mereka akan berkata, “Jika di masa azali telah ditetapkan bahwa kami adalah orang-orang khusus yang mendapatkan pertolongan Allah, niscaya kami akan selamat dari neraka dan akan masuk surga. Maka dari itu, kami tidak perlu lagi beramal atau berdo’a.”
Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” Orang yang berbuat baik adalah orang yang sering beramal saleh. Kedekatan rahmat Allah itu adalah tanda pertolongan azali Allah. Walaupun tidak menjadi sebab yang mendatangkan pertolongan itu, amal saleh tidak patut ditinggalkan hanya karena bersandar pada putusan azali.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 14 (Buku Kedua)

“Perhatian Allah kepadamu bukanlah karena sesuatu yang timbul dari dirimu. Di manakah kau ketika perhatian dan pemeliharaan-Nya menemuimu, padahal di zaman azali belum ada keikhlasan amal ataupun ahwal. Bahkan, belum ada apa-apa selain banyaknya karunia dan pemberian semata.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Perhatian atau pemberian Allah kepadamu bukan karena do’a atau amal saleh yang kaulakukan. Coba ingat, di mana dirimu ketika Allah memberimu perhatian dan perlindungan-Nya? Maknanya, di masa azali kau sendiri tidak ada. Tentu saja, itu menafikan semua yang bersumber darimu. Jika dirimu dahulu tidak ada, berarti tak ada pula sesuatu yang bersumber dari dirimu, baik do’a maupun amal saleh. Meskipun demikian, Allah tetap memberimu perhatian dan karunia.
Di masa azali, belum ada amal yang ikhlas, seperti do’a, shalat, dan puasa, tidak pula ada ahwal. Bahkan, belum ada apa-apa selain karunia dan pemberian Allah semata. Oleh karena itu, do’a bukanlah sebab terwujudnya sesuatu yang diminta. Demikian pula amal saleh, itu bukanlah sebab yang memengaruhi pemberian dan perhatian Allah atau sebab seorang masuk surga dan selamat dari neraka.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 13 (Buku Kedua)

“Terlalu agung bila putusan Allah yang azali disandarkan kepada rangkaian sebab.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Adalah sikap mengecilkan putusan Allah bila kita menghubungkan putusan yang telah ada di masa azali, yaitu karunia Allah, dengan sebab-sebab.
Jika ada yang berkata, “Terkadang, pemberian tergantung permintaan. Dengan demikian, permintaan menjadi sebab adanya pemberian.” Jawabannya: sebab hakiki datangnya karunia adalah penangguhan kehendak Allah di waktu azali. Kau meminta-Nya atas sesuatu yang sudah ditetapkan, namun belum dilaksanakan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 12 (Buku Kedua)

“Bagaimana mungkin permintaanmu yang datangnya kemudian menjadi sebab bagi pemberian-Nya yang sudah ditentukan sebelumnya?”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Bagaimana mungkin permintaanmu sekarang ini menjadi sebab pemberian Allah atas sesuatu yang sudah ditetapkan-Nya sejak zaman azali? Pemberian Allah merupakan hubungan antara kehendak-Nya di masa azali dengan pelaksanaannya yang juga sejak azali. Di dalamnya, permintaan tidak menjadi sebab karena permintaan itu datang belakangan setelah pemberian. Padahal, sebab seharusnya datang terlebih dahulu daripada akibatnya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Jumat, 16 Oktober 2015

Alhikam 11 (Buku Kedua)

“Jangan sampai permintaanmu kau jadikan sebagai sebab pemberian sehingga kau kurang memahami-Nya. Namun, jadikanlah permintaanmu sebagai sarana untuk memperlihatkan ‘ubudiyah dan untuk melaksanakan hak-hak rububiyah.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Jangan kau tujukan permintaan dan amal salehmu kepada-Nya untuk mendapatkan karunia-Nya. Jangan pula kau yakini bahwa semua permintaan dan amal salehmu itu adalah sebab datangnya karunia, sehingga pemahamanmu tentang Allah dan hikmah-Nya dalam memerintahkan hamba-Nya untuk berdo’a menjadi berkurang.
Akan tetapi, jadikanlah permintaanmu sebagai bentuk penghambaanmu kepada-Nya atau untuk menampakkan status kehambaanmu yang hina, lemah, dan amat membutuhkan pertolongan Tuhan. Permintaan juga bisa merupakan pelaksanaan hak-hak rububiyah-Nya karena rububiyah menuntut kerendahan diri dan ketundukan orang yang menyembah-Nya.
Maksudnya, Allah swt. tidak memerintahkan hamba-Nya meminta dan berdo’a, kecuali untuk menampakkan rasa butuh mereka kepada-Nya dan menyatakan kehinaan dan kelemahan mereka di hadapan-Nya, bukan untuk menjadikan do’a itu sebagai sebab mendapatkan permintaan dan keinginan mereka. Inilah pemahaman para ‘arifin tentang Allah.
Siapa yang keadaannya seperti itu, permintaannya tak akan pernah terputus dan keinginannya tak akan pernah terhenti walaupun Allah selalu mewujudkan semua permintaannya dan mengaruniakan semua keinginannya. Orang seperti ini tidak pernah membeda-bedakan antara ketika Allah memberi dan ketika Allah menahan pemberian-Nya. Dengan begitu, dalam semua keadaan tersebut, ia tetap menjadi hamba Allah dan Allah pun tetap sebagai Tuhannya. Amat buruk jika seorang hamba memalingkan wajahnya dari pintu Tuhannya setelah Dia memenuhi segala keinginannya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 10 (Buku Kedua)

“Dia terhijab lantaran sangat jelas dan Dia tersembunyi dari pandangan makhluk lantaran cahaya-Nya yang agung.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Allah terhalang dari pandangan dan tak bisa diketahui karen cahaya-Nya yang dahsyat. Seperti halnya matahari, ia tak bisa dilihat karena cahayanya lebih kuat daripada cahaya lain. Kekuatan cahaya itulah yang membuatnya tak bisa dilihat oleh mata yang lemah sehingga inti dan hakikatnya tidak diketahui.
Penampakan matahari yang ditimbulkan oleh cahayanya yang kuat menjadi hijab tersendiri baginya. Hijab di sini bukan hijab sesungguhnya  karena sesuatu yang lahir, tentu tidak akan terhalang. Ia terhijab karena lemahnya pandangan orang yang melihat pancaran cahayanya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 9 (Buku Kedua)

“Yang membuat Allah terhijab darimu adalah karena kedekatan-Nya yang amat sangat kepadamu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Karena Allah begitu dekat denganmu, kau pun terhijab dari melihat-Nya. Adanya hijab, selain akibat jarak yang jauh, juga akibat jarak yang terlalu dekat. Telapak tangan, jika didekatkan ke mata, mata takkan dapat melihatnya. Lain halnya jika ia dijauhkan dari mata.
Demikian pula Tuhan, kita tidak bisa melihat-Nya karena Dia meliputi kita dan mendekatkan diri-Nya kepada kita. Tak ada yang menyadari hal itu, kecuali para pemilik mata batin karena di mata mereka Allah amat tampak. Oleh sebab itu, Allah mengangkat hijab dari mereka sehingga mereka melihat-Nya ada pada segala sesuatu dan meliputinya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 8 (Buku Kedua)

“Siapa yang mengenal Allah, ia akan menyaksikan-Nya dalam segala sesuatu. Siapa yang fana dengan-Nya, ia akan lenyap dari segala sesuatu. Siapa yang mencintai-Nya, ia tidak akan mengutamakan selain-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Siapa yang mendapatkan makrifat Allah, ia akan melihat Allah tampak dalam segala sesuatu. Ia tidak akan merasa terasing, tidak pula merisaukan segala hal, sebagaimana sifat-sifat orang ‘arif.
Siapa yang merasakan kefanaan dengan wujud Allah, ia tidak lagi melihat fenomena wujud, kecuali Allah dan dia akan mengabaikan diri dan indranya sendiri. Ia tidak akan melihat dirinya berwujud.
Lain halnya dengan orang-orang ‘arif, mereka telah mendapatkan maqam keabadian. Mereka melihat makhluk sekaligus melihat Sang Khalik. Mereka melihat Khalik tampak pada segala sesuatu dan berada di sana, tetapi mereka tidak merasakan kefanaan diri dan inderanya. Orang yang kehendak dan syahwatnya hanya kepada Allah adalah orang yang telah meraih maqam-maqam tersebut.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 7 (Buku Kedua)

“Hilangkan pandangan makhluk padamu dengan pandangan Allah. Lupakan sambutan mereka dengan menyaksikan sambutan-Nya padamu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Singkirkan pandangan makhluk kepadamu. Jangan menoleh kepada pandangan mereka terhadapmu. Jangan mencarinya. Jangan pula pernah terpikir olehmu untuk mendapatkannya. Jauhkan pandangan mereka itu dari dirimu. Jauhkan ia dengan pandangan Allah terhadapmu! Hendaknya yang kau harap dan kau cari hanyalah pandangan Allah terhadapmu.
Lupakan sambutan mereka kepadamu dengan menyaksikan sambutan Allah kepadamu. Jangan pernah menoleh kepada kehangatan sambutan mereka, apalagi mencarinya. Namun, jadikan tolehan dan pencarianmu hanya kepada sambutan Allah karena sambutan makhluk kepada seorang murid sebelum ia mencapai kesempurnaan justru akan mendorongnya untuk berpura-pura dan sok alim di hadapan mereka. Tentu itu akan membuat derajatnya turun dan jatuh di mata Allah swt.
Tak ada yang rida dengan sambutan makhluk kepada dirinya, kecuali orang yang berakal sempit dan bertekad rendah. Hal itu dikarenakan, keridaan manusia merupakan sesuatu yang tak bisa diketahui dengan pasti. Manusia terbodoh adalah yang mencari sesuatu yang tidak diketahuinya. Adapun orang yang berakal cerdas dan luas, ia tidak akan cenderung, kecuali kepada sambutan Allah terhadapnya, tanpa peduli dengan celaan atau hinaan orang-orang kepadanya.
Seorang bijak berkata, “Orang yang tulus adalah orang yang tidak peduli jika seluruh kehormatannya sirna dari hati makhluk demi memperbaiki hatinya. Ia tidak suka jika manusia mengetahui sebiji sawi kesalehan amalnya dan tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika ia benci keburukannya diketahui, itu pertanda bahwa ia berharap lebih dari manusia. Ini bukanlah keikhlasan para shaddiqin.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 6 (Buku Kedua)

“Keinginanmu agar orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti ketidaktulusanmu dalam ‘ubudiyah-mu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Keinginanmu agar keistimewaan atau kelebihan yang diberikan Allah kepadamu yang berupa ilmu, amal saleh, atau ahwal batin diketahui orang lain adalah bukti ketidakikhlasanmu dalam ‘ubudiyah-mu.
Keihklasan dalam ‘ubudiyah bermakna kau menyingkirkan segala hal yang bernuansa kemakhlukan dan tidak pernah menoleh ke arahnya. Sekiranya kau tulus dalam menyembah Tuhanmu, niscaya kau cukup puas dengan hanya kau diketahui-Nya. Kau juga tidak akan suka jika orang lain mengetahuimu sebab hal itu dapat membuatnya iri hati kepadamu atas kondisimu akibat pandangannya yang besar terhadap kemakhlukan.
Sebagian orang ada yang suka jika amalnya dilihat manusia. Orang yang seperti ini riya’ dalam amalnya. Barang siapa yang kondisinya ingin dilihat manusia, berarti ia pembohong. Ini biasanya terjadi di awal upaya meniti jalan Allah (suluk). Akan tetapi, jika seorang hamba telah mendapat makrifat dan musyahadah, tak masalah baginya untuk memberitahukan amal-amalnya dan menampakkan kebaikan ahwal-nya karena hal itu bertujuan untuk menunaikan hak syukurnya kepada Allah serta agar banyak orang yang mengikuti jejaknya.
Pada awalnya, ahli tarekat membangun perilaku mereka atas sikap menjauh dari makhluk, menyendiri dengan Yang Maha Haq, dan menyembunyikan amal dan ahwal-nya untuk mewujudkan kefanaan mereka, mengukuhkan kezuhudannya, menjaga keselamatan hati mereka, dan ingin mengikhlaskan amal mereka untuk Tuhan semata. Sampai ketika keyakinan telah merasuki diri mereka dengan kuat dan mereka telah menampakkan hakikat kefanaan, jika Allah berkehendak, Dia akan menampakkan mereka di hadapan manusia. Jika Dia berkehendak, Dia akan menutupinya dari mereka. Keinginan ahli tarekat tidak bergantung pada tampak atau tidaknya amal mereka di hadapan manusia. Mereka hanya mengembalikan segala urusan dan perkaranya kepada Allah swt. semata.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 5 (Buku Kedua)

“Kadang kala penyakit riya’ masuk ke dalam dirimu dari tempat yang tak terlihat oleh makhluk. ”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Kadang, sifat riya’ menelisik ke dalam dirimu dari arah yang tak terlihat oleh makhluk lain atau saat kau di tempat yang tak dilihat oleh manusia. Biasanya, riya’ dapat masuk ke dalam amal jika pelakunya melakukan amal itu di hadapan manusia. Riya’ ini disebut dengan riya’ lahir.
Namun, riya’ juga bisa masuk ke dalam amal saat pelakunya melakukan amal sendirian dan tak dilihat orang, yaitu ketika seseorang melakukan amal dengan tujuan agar manusia menghormati dan mengagungkannya atau agar orang lain segera menunaikan hak untuknya dan memenuhi kebutuhannya. Jika hak dan kebutuhan si pelaku amal ini tidak dipenuhi secara maksimal oleh orang lain, ia akan menjauhinya atau mengancamnya dengan hukuman Allah atasnya.
Jika seorang hamba menemukan tanda-tanda ini pada dirinya, sadarilah bahwa sebenarnya ia telah bersikap riya’ dengan amalnya. Jika ia tutupi amalnya dari manusia, sifat riya’ itu disebut riya’ batin (tersamar). Tak seorang pun yang selamat dari riya’ lahir dan riya’ batin, kecuali orang-orang ‘arif yang mengesakan Allah. Allah swt. membersihkan mereka dari segala macam kemusyrikan dan menjauhkan mereka dari keinginan agar cahaya keyakinan dan makrifatannya dilihat makhluk.
Orang-orang ‘arif tidak akan berharap manfaat dan takut mudarat apapun dari makhluk. Amal mereka murni dan tulus karena Allah walaupun mereka melakukannya di hadapan manusia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat ini atau lebih suka memandang makhluk, mengharap manfaat dan takut mudaratnya, berarti ia telah bersifat riya’ dengan amalnya walaupun ia beribadah kepada Allah di atas gunung yang tak bisa dilihat dan didengar oleh seorang pun.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 4 (Buku Kedua)

“Andil nafsu dalam maksiat tampak jelas, sedangkan andilnya dalam perbuatan taat samar tersembunyi. Mengobati yang tersembunyi itu amatlah sulit.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Andil nafsu dalam maksiat, seperti zina, amat jelas, yaitu bagaimana ia menikmati kemaksiatan tersebut. Nafsu tidak pernah memintamu untuk melakukan maksiat, kecuali untuk menikmatinya sehingga kau akan mengalami bencana dan hukuman. Sementara itu, andilnya dalam ketaatan itu samar dan tersembunyi, tak bisa dilihat kecuali oleh para pemilik mata batin. Hal ini dikarenakan, ketaatan merupakan perkara yang amat berat bagi nafsu.
Jika nafsu menyuruhmu melakukan ketaatan, kau tidak akan pernah mengetahui perannya di dalamnya, kecuali setelah diteliti dan diamati. Secara kasat mata, nafsu seakan-akan terlihat berperan menggiringmu untuk dekat dengan Allah. Namun di balik itu, sebenarnya nafsu ingin membuatmu berharap pada penghargaan manusia dan membanggakan kesalehanmu di hadapan orang banyak.
Maka dari itu, barang siapa yang menilai diri sendiri, mengevaluasi, dan memerhatikan suara hatinya, akan tampak baginya kebenaran tentang hal ini.
Mengobati sesuatu yang tersembunyi atau menghilangkan peran-perannya yang tersembunyi amatlah susah karena membutuhkan ketelitian, pemahaman, dan pengetahuan.
Para pemilik mata batin mencela diri mereka sendiri jika cenderung kepada salah satu ibadah. Kemudian, mereka meneliti sebab mengapa mereka cenderung kepada ibadah itu. Jika itu dikarenakan peran nafsunya, mereka akan meninggalkan atau mengobati nafsu mereka saat melakukannya agar benar-benar tulus dan ikhlas karena Allah.
Ini terjadi pada seseorang yang nafsunya ingin pergi berperang di jalan Allah. Namun kemudian, setelah ditelitinya, ternyata nafsu itu berperang untuk tujuan mendapat istirahat dari letihnya perjuangan. Setiap hari, orang itu berkali-kali membunuh nafsunya dengan cara menahan hasratnya. Hingga akhirnya, nafsu menginginkan tuannya itu mati langsung. Dengan demikian, ia akan beristirahat selamanya. Kemungkinan lain setelah diteliti, ternyata nafsu itu berperang hanya agar didengar orang-orang bahwa ia mati syahid sehingga menjadi mulia di mata mereka. Ia juga ingin disebut-sebut sebagai orang yang rela mati. Oleh karena itu, ia memilih meninggalkan perang demi mendapatkan keinginannya itu.
Terkadang seseorang memiliki semangat dan merasa nikmat pada satu macam ibadah yang tidak didapatkannya pada jenis ibadah lain. Hal itu tak lain karena keuntungan nafsu di dalam ibadah itu lebih besar daripada dalam ibadah lainnya. Jika orang itu termasuk pemilik mata batin, ia akan beralih dari kecenderungan nafsunya kepada hal lain. Jika nafsu mengalahkannya, dalam kesibukannya beribadah itu, nafsu tidak memiliki andil apa-apa, kecuali untuk keuntungannya sendiri.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Alhikam 3 (Buku Kedua)

“Siapa yang mengetahui rahasia para hamba, namun tidak meniru sifat kasih sayang Tuhan, maka pengetahuannya menjadi ujian baginya dan sebab datangnya bencana.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Siapa yang mengetahui rahasia para hamba, tetapi tidak meniru sifat rahmat (kasih sayang) Tuhan, seperti menutupi aib orang-orang yang berdosa, bersabar atas orang-orang yang zalim, memaafkan orang-orang yang bodoh, berbuat baik kepada orang yang berlaku buruk, dan menyayangi para hamba Allah maka pengetahuannya tentang rahasia hamba itu akan menjadi fitnah atau ujian baginya. Hal itu dapat mendorongnya melihat dirinya sendiri dan mengagungkan keduanya, sombong dengan amalnya, dan congkak di hadapan orang lain. Inilah ujian yang paling besar baginya. Bahkan, dapat menjadi sebab datangnya bencana kepadanya karena ia telah mengaku-ngaku memiliki sifat Tuhan dan menandingi-Nya dalam hal kesombongan dan keagungan. Inilah bencana paling besar, kehinaan, dan peringatan yang paling keras.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepada Ibrahim as, ia mendatangi seorang laki-laki yang sedang melakukan maksiat terhadap Allah. Ibrahim pun mendo’akan celaka orang itu hingga ia pun binasa. Ibrahim lalu mendo’akan orang lain yang berbuat sama dengannya maka semuanya pun binasa.
Allah swt. lalu berfirman kepada Ibrahim, “Wahai Ibrahim, kau adalah orang yang do’anya selau dikabulkan. Jangan kau do’akan celaka hamba-hamba-Ku karena dari-Ku, mereka akan terbagi ke dalam tiga keadaan: seorang hamba dari mereka bertobat kepada-Ku dan Aku pun menerima tobatnya; Kukeluarkan darinya nyawa yang bertasbih kepada-Ku; atau Kubangkitkan ia dan Kuhadapkan kepada-Ku. Jika Aku mau, Aku akan memberinya maaf. Jika Aku berkehendak, Aku akan menghukumnya.”
Ada yang mengatakan, inilah sebab kenapa Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya, yaitu karena Allah begitu menyayangi hamba-hamba-Nya, seperti Ibrahim menyayangi anaknya. Kesimpulannya, mukasyafah adalah nikmat Allah swt. atas seorang murid. Cara mensyukurinya adalah dengan menutupi aib hamba atau memaafkannya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)