Jumat, 31 Juli 2015

Al-Hikam 86

“Ketika Dia membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang mengapa kau tidak diberi, hal itu merupakan bentuk pemberian.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ketika kau meminta namun tidak diberi, lalu kau paham bahwa tidak adanya pemberian itu merupakan salah satu bentuk rahmat-Nya untukmu (karena Dia Mahatahu bahwa itulah yang terbaik untukmu), dan bahwa Tuhanmu sedang memperlihatkan kuasa-Nya di hadapanmu, maka pemahaman semacam itulah sejatinya pemberian untukmu dari-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 85

“Bisa jadi, Allah memberimu (kesenangan dunia), namun menghalangimu (dari taufik-Nya). Bisa pula Dia menghalangimu (dari kesenagan dunia), namun memberimu (taufik).”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Taufik ialah bimbingan untuk melakukan ketaatan serta mendekatkan diri kepada-Nya dan memahami-Nya.
Allah mungkin memberimu kesenangan dan kenikmatan dunia. Namun, Dia menghalangimu dari bimbingan-Nya untuk menaati, mendekati, dan memahami-Nya. Mungkin juga Allah menghalangimu dari kesenangan dunia, namun Dia memberimu bimbingan-Nya.
Halangan Allah kepadamu untuk menikmati syahwatmu dan menikmati kesenangan alam semesta, meski disertai buruknya kebiasaan ibadahmu, merupakan karunia yang besar dari-Nya. Allah telah menetapkannya untukmu dan memutusmu dari kepentingan dan tujuan-tujuanmu.
Sebaliknya, ketika Allah memberimu kesenangan dunia, walaupun secara lahir tampak seperti pemberian, jangan kau lihat  lahirnya saja. Lihatlah hakikatnya. Saat itu, seorang hamba wajib menyerahkan putusan, pengaturan, dan pilihan kepada Tuhannya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 84

“Semasa lapang, nafsu bisa memainkan perannya melalui rasa gembira. Semasa sempit, nafsu tidak bisa berbuat apa-apa.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Dalam hikmah ini, terdapat penegasan tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga etika saat lapang itu amat sulit. Sebab, tidak ada yang bisa menjaga etika dalam kondisi itu kecuali segelintir orang.
Seakan Ibnu Atha’illah berkata, “Memang demikian adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan.”
Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai, melupakan kewajiban, mengaku-ngaku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin, dan rahasia-rahasia, selalu berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal-hal luar biasa, menyinggung masalah karamah, dan bersuara tentang maqam masing-masing. Semuanya itu tentu bertentangan dengan prinsip ‘ubudiyah.
Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa beruntung dan memiliki peran apa-apa. Nafsu tidak akan sombong dengan menampakkan sesuatu yang menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika-etika ‘ubudiyah. Oleh karena itu, orang-orang ‘arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 83

“Kaum ‘arif lebih khawatir ketika diberi kelapangan daripada ketika diberi kesempitan, karena yang bisa menjaga etika saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Mereka amat mengkhawatirkan diri mereka jika diberi Allah kelapangan. Bagi mereka, kelapangan lebih cocok dengan hawa nafsu. Saat itu, mereka takut terjerumus oleh dorongan hawa nafsu untuk selalu berbicara tentang ahwal, karamah, dan keistimewaan lain yang mereka miliki. Mungkin di situlah letak keterusiran dan keterasingan mereka. Terkadang pula, pada saat itu, dari diri mereka terucap ucapan yang tidak sesuai dengan keagungan Tuhan. Saat itulah mereka dituntut untuk selalu menjaga adab dan menahan diri. Itu amat sulit bagi mereka dalam kondisi ini.
Oleh sebab itu, Ibnu Atha’illah berkata, “Yang bisa menjaga adab pada saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”
Dalam Latha’if al-Minan disebutkan bahwa kelapangan dapat menggelincirkan kaki orang-orang. Ia menuntut agar mereka lebih waspada dan berhati-hati. Kesempitan lebih dekat kepada keselamatan karena ia merupakan tempat hamba berada dalam genggaman Allah. Di sana pula kuasa Allah meliputinya. Dari manakah gerangan datangnya kelapangan? dari Allah.
Kelapangan sama dengan keluar dari hukum waktu-Nya, sedangkan kesempitan adalah keadaan yang memang layak ada di dunia ini. Karena dunia adalah negeri yang penuh beban, misteri tentang masa depan, ketidaktahuan tentang masa lalu, dan tempat tuntutan pelaksanaan hak-hak Allah.  


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 82

“Dia memberimu kelapangan agar kau tidak terus berada dalam kesempitan. Dia memberimu kesempitan agar kau tidak terus berada dalam kelapangan. Dia mengeluarkanmu dari kelapangan dan kesempitan agar kau tidak bergantung kepada selain-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Saat dalam kesempitan, kau merasa tertekan dan sakit. Saat lapang, kau akan merasa beruntung dan senang. Allah akan mengeluarkanmu dari kesempitan dan kelapangan dengan cara membuatmu merasa fana dan kau memilih abadi dengan-Nya.
Oleh karena itu, jangan terus menerus berada dalam sifat dan keadaanmu yang menyakitkan atau menyenangkan agar itu tidak menjadi hijab antara dirimu dengan Tuhanmu dan agar kondisimu seimbang dan berada di tengah; tidak sempit, tidak pula lapang.
Maknanya, warnailah keadaan batinmu agar kau bisa menaklukkannya dan merasa fana darinya. Kesempitan diperuntukan bagi orang-orang ‘arif pemula. Sekiranya tanpa kesempitan, hakikat-hakikat mereka tidak akan terkumpul dan tidak terhenti dari keinginan dan syahwat.
Adapun kelapangan diperuntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan cahaya awal kemenangan agar mereka mengerahkan segenap kekuatannya dan merasa nyaman dengan embusan nafas Tuhan dan tanda-tanda penyaksian terhadap keridhaan-nya.
            Sementara itu, keseimbangan diperuntukkan bagi ahli nihayah (orang yang mendapat tujuan akhir perjalanannya) agar ahwal mereka lurus, amal mereka bersih, dan mereka selalu berada di hadapan Tuhan tanpa cacat dan kekurangan.
Kesimpulannya, kesempitan dan kelapangan merupakan kondisi yang masih kurang karena masih membutuhkan eksistensi dan keberadaan seorang hamba di dunia. Namun, keduanya dapat membuat hamba itu menjadi tegar.
Itu merupakan salah satu tanda kelembutan Allah kepada hamba-Nya. Allah mewarnai hamba-Nya dengan dua kondisi itu, lalu mengeluarkannya dari sana dengan menjadikan hamba itu merasa fana dan berada bersama-Nya. Kesempitan dan kelapangan adalah kondisi kaum ‘arif pemula. Pada masa-masa itu, mereka masih tercemari. Persis seperti murid pemula yang keadaannya diwarnai harap dan takut. Kendati demikian, keduanya tetap berbeda. Harap dan takut yang dirasakan murid berkaitan dengan perkara yang diperkirakan akan terjadi di masa mendatang, baik itu yang ditakuti maupun yang dicintai.
Adapun kesempitan dan kelapangan yang menimpa kaum ‘arif berkaitan dengan perkara yang tidak diperkirakan kedatangannya. Jika perkara yang tiba-tiba datang itu adalah perkara yang ditakuti, itu adalah kesempitan. Jika perkara yang tiba-tiba datang itu adalah perkara yang dicintai, itu adalah kelapangan.
Sebab adanya kesempitan dan kelapangan itu adalah asupan-asupan yang masuk ke dalam batin seorang ‘arif. Jika yang masuk ke dalam hati adalah asupan keagungan Ilahi, terjadilah kesempitan. Jika asupannya berupa keindahan Ilahi, terjadilah kelapangan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 81

“Alam ini lahirnya berupa tipuan, sedangkan batinnya berupa pelajaran. Diri (nafsu) melihat kepada lahirnya yang menipu, sedangkan qalbu melihat kepada batinnya yang menjadi pelajaran .”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Maksud “alam” di sini adalah segala kenikmatan dan pernak-pernik duniawi yang di dalamnya nafsu meraih keuntungannya. Alam membuat jiwa tertipu karena keindahan dan kilauannya. Namun hakikatnya, alam sesungguhnya adalah objek untuk diambil pelajarannya dan dijauhi karena keburukan, kehinaan, dan kefanaannya.
            Secara lahir, alam ini sangatlah indah dipandang, sedangkan secara batin, ia amat buruk. Siapa yang melihat kepada lahirnya, ia akan mendapatinya hijau, indah, dan menyilaukan. Pasti ia tertipu karenanya dan akan suka melihatnya. Namun, siapa yang melihat hakikat batinnya, ia akan mendapatinya kering, mati dan kotor sehingga akan menjadikannya pelajaran dan menjauhinya.
            Nafsu selalu melihat kepada hiasan alam yang menyilaukan sehingga ia tertipu dan pemiliknya akan binasa. Namun, qalbu akan melihat pada batinnya atau keburukannya sehingga ia akan berkaca di sana dan terhindar dari keburukannya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)