Sabtu, 30 Mei 2015

Al-Hikam 67

“Berhati-hatilah bila kebaikan Allah selalu kaudapatkan bersamaan dengan maksiat yang terus kaulakukan! Berhati-hatilah! Bisa jadi, itu adalah awal kehancuranmu yang berangsur-angsur. Allah swt. berfirman, “Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.”” (QS. Al-A’raf [7]: 182)
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Kita sering melihat banyak manusia yang tidak bersyukur atas nikmat Allah, namun nikmat itu tidak hilang dari mereka. Bisa jadi, hal itu merupakan proses penarikan nikmat yang dilakukan secara berangsur-angsur oleh Allah. Karena prosesnya yang berangsur-angsur itu, mereka pun tidak menyadarinya. Namun, berikutnya Allah akan merampas seluruh nikmat itu dari mereka secara tiba-tiba.
            Ada yang mengatakan, maksud ayat di atas ialah Allah akan terus memberi mereka nikmat dan membuat mereka lupa bersyukur. Jika mereka sudah bergelimang kenikmatan dan terhalang dari Pemberi nikmat, seluruh nikmat itu akan direnggut dari mereka secara tiba-tiba.
            Ada yang berpendapat bahwa setiap kali mereka membuat kesalahan baru, maka Allah akan menambah nikmat untuk mereka dan membuat mereka lupa memohon ampunan atas kesalahan itu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 66

“Siapa yang tidak mensyukuri nikmat, akan kehilangan nikmat itu. Siapa yang mensyukurinya, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan tali yang kuat.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Syukur nikmat akan membuat nikmat itu abadi dan semakin bertambah. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
            Sementara itu, kufur nikmat akan menyebabkan nikmat itu hilang. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengunah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
            Artinya, jika mereka mengubah ketaatan mereka, yaitu dengan tidak mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya, Allah tidak akan memberi mereka kebaikan dan kemurahan-Nya.
            Syukur nikmat bisa diwujudkan dengan hati, yaitu kau sadar bahwa semua nikmat berasal dari Allah. Allah swt. berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu maka dari Allahlah (datangnya).” (QS. An-Nahl [16]:53 )
            Bisa pula diwujudkan dengan lisan, yaitu dengan membicarakan nikmat tersebut. Allah swt. berfirman, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu siarkan (bicarakan).” (QS. Adh-Dhuha [93]: 11)
            Bisa juga dilakukan dengan anggota tubuh, misalnya dengan menggunakan di jalan ketaatan kepada Allah dan menjauhkannya dari hal yang tidak diridhai-Nya.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 65

“Siapa yang tidak mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan diseret (agar mendekat) kepada-Nya dengan rantai cobaan.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Orang yang tidak mendekat kepada Allah meski telah diberi berbagai kenikmatan akan dipaksa mendekat kepada Allah melalui berbagai macam musibah. Artinya, kedekatan seorang hamba kepada Allah terjadi melalui dua proses.
            Pertama, dengan diturunkannya nikmat kepadanya sehingga dia bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut dan bersiap melayani-Nya. Kedua, dengan diturunkannya musibah yang menimpa tubuh atau hartanya sehingga dia akan berlindung kepada Allah dan meminta-Nya agar mengangkat musibah itu. Mungkin, itu akan menjadi sebab dia meninggalkan keduniaan dan hanya bergantung kepada Allah.
            Allah menghendaki para hamba-Nya kembali kepada-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 64

“Kau merdeka dari segala sesuatu yang tidak kau inginkan dan kau budak dari segala yang kau inginkan”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ini adalah dalil lain yang menunjukkan betapa buruknya ketamakan dan terpujinya keengganan terhadap para makhluk dan sikap qana’ah terhadap rezeki yang sudah dibagi.
            Ketamakan pada sesuatu sama saja dengan penghambaan terhadap sesuatu itu. Sementara itu, keengganan terhadap sesuatu adalah bentuk kebebasan dari sesuatu itu. Keengganan itu membuktikan ketidaktertarikan dan ketidakbutuhan hati terhadap sesuatu itu. Orang yang tamak akan menjadi budak, sedangkan orang yang enggan (terhadap sesuatu) akan menjadi orang yang merdeka.
            Oleh sebab itu, dikatakan, “Seorang budak akan merdeka selama ia puas. Seorang yang merdeka akan menjadi budak selama ia tamak.”
            Sifat qana’ah adalah sikap tenang saat hilangnya sesuatu yang biasa ada. Ini adalah awal langkah zuhud.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 63

“Tak ada yang dapat mengendalikanmu sehebat angan-angan”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Angan-angan adalah sesuatu yang teramat buruk. Selain karena merupakan penyebab ketamakan manusia, juga karena angan-angan sebenarnya adalah perkara yang tidak ada. Ia hanyalah khayalan dan perkiraan. Namun anehnya, jiwa selalu lebih tunduk kepadanya daripada kepada akal.
            Tidakkah kau melihat bahwa tabiat manusia selalu merasa takut kepada ular karena ia menyangka ular itu berbahaya. Bahkan, ia takut bila melihat seutas tali yang melingkar sebab ia mirip dengan ular. Sekiranya tabiat tunduk kepada akal, tentu ia tidak akan merasa takut karena segala hal yang ditakdirkan pasti akan terjadi dan yang tidak ditakdirkan pasti tidak akan terjadi.
            Oleh sebab itu, tak seorangpun yang selamat dari ketamakan terhadap makhluk dan apa yang ada di tangan mereka, kecuali para ahli wara’ dari kalangan khawwash. Mereka adalah orang-orang yang selalu qana’ah dan tawakkal. Di hati mereka tiada lagi hubungan antarmakhluk. Mereka tidak lagi memedulikan rezeki.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Jumat, 29 Mei 2015

Al-Hikam 62

“Tidaklah tumbuh dahan-dahan kehinaan, kecuali dari benih ketamakan. ”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ibnu Atha’illah mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon. Dahan-dahannya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Ibnu Atha’illah berkata, “Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh menjadi pohon kehinaan yang dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.”
            Ketamakan merupakan sikap tercela yang dapat merusak ‘ubudiyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesalahan. Ketamakan menandakan ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap sesuatu yang telah ditakdirkan Allah.
            Oleh karena itu, ia kemudian berkata, “Jika ketamakan ditanya, ‘Siapa bapakmu?’ niscaya ia akan menjawab, ‘Keraguan terhadap takdir.’ Jika ditanya, ‘Apa pekerjaanmu?’ ia menjawab, ‘Mencari kehinaan.’ Jika ia ditanya, ‘Apa tujuanmu?’ ia menjawab, ‘Memiskinkan seseorang.’”
            Ketamakan juga dapat merusak agama. Ketika Ali bin Abi Thalib mendapati para penutur kisah tengah bercerita banyak hal di Masjid Agung Basrah, ia menyuruh mereka berdiri. Kemudian ia mendatangi Hasan al-Basri (30-110 H) dan berkata, “Hai anak muda, aku akan menanyakan  kepadamu satu hal. Jika kau mampu menjawabnya dengan tepat, kubiarkan kau di sini. Namun, kau salah, aku akan berdirikan kau seperti teman-temanmu itu.”
            Ali memandang Hasan al-Basri. Dilihatnya pada diri pemuda tersebut tersimpan tanda petunjuk dan kecerdasan.
            Hasan al-Basri pun menjawab, “Tanyalah semaumu!”
            “Apa gerangan yang menjadi pengendali agama?” Tanya Ali kepadanya.
            Hasan menjawab, “Sifat wara’.”
            Ali bertanya lagi, “Apa yang menjadi perusak agama?”
            Hasan menjawab, “Sifat tamak.”
            Kemudian Ali berkata, “Duduklah! Orang sepertimu layak berbicara di hadapan manusia. Wara’ (menjauhi) ketamakan adalah wara’nya orang-orang khusus (khawwash). Sikap ini menunjukkan kokohnya keyakinan, sempurnanya tawakkal, dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara’nya orang-orang biasa (awam) yang baru sebatas meninggalkan perkara-perkara syubhat.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 61

“Allah membuat orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya (sa’irun) dan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya (washilun) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwal) mereka. Karena para sa’irun belum benar-benar ikhlas dalam amal mereka dan karena para washilun terlalu sibuk melihat Tuhan mereka”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Allah menghalangi pandangan para sa’irun dan washilun sehingga mereka tidak bisa melihat atau memerhatikan amal lahir dan ahwal hati mereka. Sekalipun sama-sama dihalangi, penyebabnya berbeda. Pandangan para sa’irun dihalangi lantaran Allah melihat hati mereka kurang hadir di hadapan-Nya saat beramal. Sementara itu, pandangan para washilun dihalangi lantaran mereka sibuk melihat Allah sehingga mereka tidak mampu melihat selain dzat-Nya.
            Allah telah memberikan karunia-Nya kepada dua kelompok itu. Dia membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap amal dan ahwal mereka. Akan tetapi, Allah memberikan karunia-Nya kepada para salik dengan terpaksa, sedangkan kepada para sa’irun dengan sukarela. Tentu saja kedudukan yang kedua lebih tinggi daripada yang pertama.
            Oleh sebab itu, al-Washiti bertanya kepada para sahabat Abu Utsman tentang apa gerangan yang diperintahkan oleh syekh mereka.  Mereka menjawab, “Ia memerintahkan kami untuk senantiasa taat dan melihat atau memerhatikan kekurangan di dalam ketaatan yang kami lakukan itu.”
            Kemudian al-Washiti berkata, “Jika demikian, berarti dia telah memerintahkan kalian untuk mengamalkan ajaran-ajaran kaum Majusi. Maukah kalian kuperintahkan untuk mengabaikan hal itu dan lebih melihat kepada sumber alirannya langsung?” Maksudnya adalah agar mereka meninggikan tekad mereka menuju maqam orang-orang ‘arif, bukan merendahkan apa yang mereka alami karena hal itu juga termasuk kebaikan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 60

“Janganlah senang lantaran kau bisa melakukan ketaatan, tetapi senanglah lantaran ketaatan itu dikaruniakan Allah kepadamu. “Katakanlah, Berkat karunia dan rahmat Allahlah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus [10]:58)
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Jangan merasa senang jika kau mampu melakukan sebuah ketaatan. Sikap seperti itu adalah sikap tercela, terlarang, dan dapat membatalkan ketaatan. Yang semestinya membuatmu senang bukanlah kemampuanmu melakukan ketaatan, tetapi karena Allah telah menganugerahkan ketaatan itu kepadamu. Inilah sikap yang terpuji dan diharapkan dari seorang hamba. Inilah bentuk kesyukuran seorang hamba atas karunia tersebut.
            Ibnu Atha’illah mendasari hikmah ini atas firman Allah, “Katakanlah, ‘Berkat karunia dan rahmat Allahlah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus [10]: 58)
            Ketaatan yang bisa dilakukan seorang hamba merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia patut berbahagia atas hal itu, bukan atas upayanya menjalankan ketaatan itu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 59

“Cahaya bisa menyingkap, mata hati dapat mengetahui, sedangkan hati bisa menerima dan menolak”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati seorang murid bisa menyibak berbagai makna dan hal gaib, seperti baiknya ketaatan dan buruknya maksiat. Mata hati bisa melihatnya. Dalam melihat makna dan hal gaib ini, mata hati membutuhkan cahaya, seperti halnya mata biasa yang membutuhkan bantuan cahaya lentera atau matahari ketika akan melihat sesuatu. Cahaya yang dibutuhkan mata hati itu adalah cahaya batin.
            Selanjutnya, yang dilihat oleh mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, hati akan menerima dan mencintainya, lalu diikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila mata hati melihat buruknya maksiat, hati akan menolak dan menjauhinya, kemudian diikuti oleh anggota tubuh yang lain.
            Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa cahaya bisa menyingkap misteri gaib, seperti rahasia takdir, atau memprediksikan apa yang akan terjadi di dunia. Setelah itu, mata hati akan berperan melihatnya dan hati memastikannya. Terkadang penyingkapan dan penglihatan tersebut tidak sempurna.
            Oleh karena itu, seorang mukasyif (yang mampu menyingkap misteri gaib) harus memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu. Ia tidak boleh beramal hanya berdasarkan apa yang disingkapkan untuknya. Ia juga tidak boleh memprediksikan sesuatu sebelum bertanya kepada hatinya, apakah hatinya itu menerima atau menolaknya. Itulah sebabnya prediksi sebagian wali ada yang tidak terjadi. Ya, karena ia tidak memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan di hadapannya itu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 58

“Cahaya adalah tentara qalbu dan kegelapan adalah prajurit nafsu. Jika Allah ingin menolong hamba-Nya, Allah akan membantunya dengan bala tentara cahaya dan memutus bantuan prajurit kegelapan dan keduniaan.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Dengan iringan tentara qalbu (cahaya), hati bisa sampai ke hadirat Allah dengan mudah daan selamat, sebagaimana seorang raja yang diiringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu mengalahkan musuh. Inilah pengertian yang dapat kita petik dari hikmah di atas.
            “Kegelapan”, yang merupakan tabiat seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit nafsu yang mengiringi seorang hamba sampai kepada tujuan, yaitu meraih keduniaan.
            Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang waktu. Jika Allah ingin membantu hamba-Nya mengalahkan nafsu-nya, Dia akan mengirimkan bala bantuan-Nya, ia akan menyadari keburukan syahwat yang menghambatnya untuk sampai kepada Allah. Selain itu,  Allah juga akan membinasakan prajurit kegelapan dan tipuan dunia yang akan membantu nafsu.
            Sebaliknya, jika Allah ingin menghinakan seorang hamba, Dia akan memberinya prajurit kegelapan. Hati yang cenderung kepada amal saleh (misalnya, ingin berpuasa) dan nafsu yang cenderung kepada syahwat (misalnya, ingin berbuka) akan bertempur dan saling membunuh. Saat itu, cahaya dan rahmat Allah akan segera membantu hati, sedangkan kegelapan akan menolong nafsu. Saat kedua barisan pasukan itu bertemu dan pertempuran semakin sengit, tak ada jalan lain bagi seorang hamba kecuali ia harus takut kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Seperti itulah yang terjadi dalam setiap amal saleh yang dikerjakannya hingga ia berhasil sampai kehadirat Allah. Saat itu, kekuasaan nafsu akan terputus dan kalah.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 57

Cahaya adalah kendaraan hati dan rahasia jiwa.
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Yang dimaksud dengan cahaya di sini ialah cahaya Ilahi yang masuk ke dalam hati murid. Biasanya, cahaya ini didapat dengan zikir dan riyadhah. Kendaraan hati dapat membawa hati menuju Allah hingga sampai ke hadirat-Nya dan mendekati-Nya. Adapun rahasia jiwa menurut kaum sufi ialah kedalaman hati, bukan mata hati.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 56

Allah memberimu ilham untuk mengeluarkanmu dari penjara wujudmu dan membawamu ke angkasa penyaksianmu.
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Maknapenjara wujud ialah kungkungan sifat-sifatmu yang menghambatmu menyaksikan Tuhanmu, ibarat penjara yang membatasi gerak para narapidana.
Maksud angkasa penyaksian adalah kesempatanmu menyaksikan Tuhanmu. Ia diumpamakan ruang angkasa yang tiada batas dan tanpa ada yang menghalangi pandangan mata.
Seseorang berkata, Penjaramu adalah dirimu sendiri. Jika kau keluar dari sana, kau akan mengalami kebahagiaan yang abadi.
Hikmah ini menegaskan bahwa pemilik ilham itu hanya satu. Demikian pula buahnya yaitu datang ke hadirat-Nya. Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa Allah selalu melimpahkan untukmu ilham agar kau sampai kepada-Nya. Dengan ilham yang datang kepadamu, kaupun sibuk melakukan bermacam ketaatan dan mujahadah. Namun, di saat sifat-sifat burukmu masih bercokol di hatimu, yang menyebabkan kau tidak ikhlas beribadah, Dia akan mengirimkan ilham lain yang akan menyelamatkanmu dari hal itu dan membuatmu ikhlas.
Ketika kau ikhlas, mungkin kau akan mengandalkan keikhlasanmu itu sebagai jaminan diterimanya amalmu dan sampainya dirimu di hadapan Tuhan dengan keikhlasanmu itu. Tentu, tindakan ini adalah salah. Oleh karena itu, ilham berikutnya akan datang. Dengan ilham, itu kau tidak lagi melihat dirimu sendiri dan hanya melihat Tuhanmu dengan mata batinmu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 55

Allah memberimu ilham untuk menyelamatkanmu dari cengkeraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu.
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Materi dan hawa nafsu akan merampas kebebasanmu  bila kau begitu mencintai dan bergantung padanya. Oleh karena itu, Allah memberimu ilham yang dapat menyelamatkanmu dari cengkeraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu. Dengan begitu, tak akan ada lagi kesempatan bagi makhluk untuk menguasaimu sehingga kau hanya pasrah kepada Allah dan layak untuk hadir ke hadapan-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 54

Datangnya ilham dari Allah kepadamu tak lain agar kau mendatangi-Nya.
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Yang dimaksud dengan ilham adalah ilmu dan cahaya pengetahuan yang datang dari Allah, cahaya yang membuat hati lapang dan bersinar terang. Dengannya, hati bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran dan melihat kebatilan sebagai kebatilan. Ilham ini juga merupakan penampakan Ilahi yang masuk ke dalam hati meski seorang hamba tidak merasakannya karena keburukan sifat-sifat kemanusiaannya. Terkadang, ilham disebut juga dengan hal (keadaan batin). Semuanya datang kepadamu agar kau bisa menuju ke hadirat Ilahi. Namun, untuk sampai ke hadirat Allah, hati harus bersih dan suci dari segala kotoran.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 53

Tiada amal yang lebih berpeluang diterima daripada amal yang tidak kau sadari dan tidak berarti di matamu.
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Amal yang tidak kausadari adalah amalmu yang kau yakini dibimbing dan dilakukan oleh Allah. Tanpa Allah, niscaya amal itu tidak akan kaulakukan.
Amal yang tidak berarti di matamu ialah amal yang tidak kau jadikan sandaran untuk meraih sebuah keinginan, seperti keinginan untuk bisa sampai kepada Allah dan dekat dengan-Nya atau keinginan mendapatkan derajat dan kedudukan tinggi. Bahkan, kau masih memandang amal itu kurang sempurna dan tidak terbebas dari cacat yang membuatnya sulit diterima Allah.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 52

Tidak ada dosa kecil jika kau dihadapkan pada keadilan-Nya dan tidak ada dosa besar jika kau dihadapkan pada karunia-Nya.
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ketika keadilan Allah berbicara, semua dosa adalah besar. Keadilan Allah adalah kuasa-Nya untuk melakukan apa saja, tanpa ada yang bisa menahan dan melarang-Nya. Jika sifat adil Allah muncul di hadapan orang yang dibenci-Nya, kebaikan-kebaikan orang itu akan diabaikan dan dosa-dosa kecilnya akan dipandang besar.
Adapun karunia Allah adalah pemberian-Nya tanpa berharap balasan dan ganti. Jika karunia itu diberikan kepadamu, dosamu akan menjadi kecil. Jika sifat murah hati-Nya muncul di hadapan orang yang dicintai-Nya, semua kesalahan dan keburukannya akan diabaikan, sedangkan dosa besarnya akan dipandang kecil.
Oleh sebab itu, asy-Syadzili kerap berdoa, Ya Allah, jadikan keburukan kami keburukan orang-orang yang Kaucintai dan jangan jadikan kebaikan kami kebaikan orang yang Kaubenci.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 51

Jangan sampai dosa yang kauanggap besar menghalangimu berbaik sangka kepada-Nya. Siapa yang mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya kecil jika dibandingkan dengan kemurahanNya.
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari—

            Jangan kau anggap dosa yang kau lakukan itu besar dan tidak mungkin diampuni sehingga membuatmu putus asa dari rahmat Tuhanmu. Anggapan semacam itu termasuk sikap tercela dan dapat merusak keimanan. Sikap itu bahkan lebih buruk daripada dosa yang kau lakukan.
Hal itu mencerminkan ketidaktahuanmu tentang Tuhanmu dan memperlihatkan bahwa kau mengandalkan diri sendiri di hadapan Tuhanmu. Siapa yang mengenal Tuhannya dengan baik tentu akan mengetahui dosa apa saja yang tidak ada ampunan dan maafnya.
Lain halnya jika anggapan itu mendorong pelakunya untuk bertobat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ini adalah anggapan yang terpuji dan merupakan tanda keimanan seorang hamba.
Bin Masud berkata, “Seorang mukmin melihat dosa seperti melihat gunung yang besar. Ia takut dosa itu runtuh menimpanya. Sementara itu seorang pendosa melihat dosa seperti melihat seekor lalat yang hinggap di hidungnya. Ketika ia menepisnya, lalat itupun terbang dan hinggap kembali.
Ada yang berkata, “Semakin ketaatan seseorang dianggap kecil maka ia semakin besar di sisi Allah. Semakin maksiat dianggap besar maka ia akan semakin kecil di sisi-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)