Jumat, 29 Mei 2015

Al-Hikam 62

“Tidaklah tumbuh dahan-dahan kehinaan, kecuali dari benih ketamakan. ”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ibnu Atha’illah mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon. Dahan-dahannya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Ibnu Atha’illah berkata, “Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh menjadi pohon kehinaan yang dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.”
            Ketamakan merupakan sikap tercela yang dapat merusak ‘ubudiyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesalahan. Ketamakan menandakan ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap sesuatu yang telah ditakdirkan Allah.
            Oleh karena itu, ia kemudian berkata, “Jika ketamakan ditanya, ‘Siapa bapakmu?’ niscaya ia akan menjawab, ‘Keraguan terhadap takdir.’ Jika ditanya, ‘Apa pekerjaanmu?’ ia menjawab, ‘Mencari kehinaan.’ Jika ia ditanya, ‘Apa tujuanmu?’ ia menjawab, ‘Memiskinkan seseorang.’”
            Ketamakan juga dapat merusak agama. Ketika Ali bin Abi Thalib mendapati para penutur kisah tengah bercerita banyak hal di Masjid Agung Basrah, ia menyuruh mereka berdiri. Kemudian ia mendatangi Hasan al-Basri (30-110 H) dan berkata, “Hai anak muda, aku akan menanyakan  kepadamu satu hal. Jika kau mampu menjawabnya dengan tepat, kubiarkan kau di sini. Namun, kau salah, aku akan berdirikan kau seperti teman-temanmu itu.”
            Ali memandang Hasan al-Basri. Dilihatnya pada diri pemuda tersebut tersimpan tanda petunjuk dan kecerdasan.
            Hasan al-Basri pun menjawab, “Tanyalah semaumu!”
            “Apa gerangan yang menjadi pengendali agama?” Tanya Ali kepadanya.
            Hasan menjawab, “Sifat wara’.”
            Ali bertanya lagi, “Apa yang menjadi perusak agama?”
            Hasan menjawab, “Sifat tamak.”
            Kemudian Ali berkata, “Duduklah! Orang sepertimu layak berbicara di hadapan manusia. Wara’ (menjauhi) ketamakan adalah wara’nya orang-orang khusus (khawwash). Sikap ini menunjukkan kokohnya keyakinan, sempurnanya tawakkal, dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara’nya orang-orang biasa (awam) yang baru sebatas meninggalkan perkara-perkara syubhat.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar