Senin, 23 Maret 2015

Al-Hikam 40

“Jangan mengadukan musibah kepada selain Allah. Karena Allah semata yang menurunkannya. Bagaimana mungkin selain Allah dapat mengangkat musibah yang telah ditetapkan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengangkat musibah dari dirinya sendiri bisa mengangkat musibah dari orang lain?”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Jika ada musibah yang menimpamu, jangan kau meminta kepada selain Allah untuk menghilangkannya karena yang menurunkan musibah itu adalah Allah. Ingat, Allahlah Yang Unggul dan tak ada yang bisa mengalahkan-Nya.
            Orang yang tak bisa mengangkat musibahnya sendiri mustahil mampu mengangkat musibah yang menimpa orang lain.
            Kesimpulannya, siapapun selain Allah, sekalipun itu seorang raja, tidak akan mampu mengangkat musibah orang lain. Selain itu, ia pun tentu lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang lain. Demikian pula, jika memang benar ia mampu memberi manfaat kepada orang lain, tentu ia akan mendatangkan manfaat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun kenyataannya, ia tidak mampu mendatangkan itu. Perlu diingat, tak ada kelemahan melebihi kelemahan dalam memberi manfaat kepada diri sendiri.
            Oleh karena itu, teramat sempit akalmu jika dalam hajat dan musibahmu kau bergantung pada orang yang juga butuh pertolongan seperti dirimu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 39

“Jangan sampai tekadmu tertuju pada selain-Nya karena Tuhan Yang Mahamulia (karim) tidak mungkin akan terlampau oleh harapan dan angan”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Jangan sampai kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapkan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yang tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yang mulia; dan tak ada yang benar-benar mulia kecuali Allah swt. Setiap orang yang mulia; jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya; jika berjanji, akan menepatinya; jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melebihi harapan. Dia tidak peduli berapa banyak dan kepada siapa dia memberi. Dia tidak mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapapun yang berlindung kepadanya. Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat-sifat ini tidak dimiliki selain oleh Allah swt. Karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya.
            Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan ‘ubudiyah (penghambaan di hadapan-Nya) bila didasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada Allah. Lain halnya bila permintaan tersebut diiringi dengan keyakinan bahwa makhluk yang dimintainya hanyalah wasilah (perantara), tetapi yang sebenarnya memberi adalah Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan ‘ubudiyah.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 38

“Allah telah ada dan tiada sesuatu pun di samping-Nya; kini Dia masih tetap sebagaimana ada-Nya semula”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ini adalah kondisi orang yang menduduki maqam kefanaan. Ia tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya, Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.
            Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah swt. sedangkan selain-Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yang melekat pada Allah swt. sekarang dan sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain karena adanya hijab.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 37

“ ’Sinar mata hati’ membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. ‘Penglihatan mata hati’ membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. ‘Hakikat mata hati’ membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Sinar mata hati sering disebut dengan cahaya akal dan ‘ilmu yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut dengan cahaya ilmu dan ‘ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul yaqin.
            Cahaya-cahaya ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan manfaatnya sendiri-sendiri.
            Seseorang berkata, “seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya.” Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada Sang Khalik dan bersikap rendah hati dihadapan makhluk.
            Melalui hikmah ini, Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa orang yang terbuka dengan cahaya yang pertama akan merasa kedekatan Allah. Ia akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada-Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu saat ia melaksanakan perintah-Nya maupun saat menjauhi larangan-Nya.
            Orang yang terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala wujud karena wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada dan tidak memedulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat wujud Yang Maha Haq. Wujud hakiki hanyalah milik Allah swt. Dalam pandangannya, tak ada lagi yang dijadikan sandaran atau tempat berkeluh kesah, kecuali Allah. Ia hanya akan bertawakkal kepada-Nya, rida, dan memasrahkan diri kepada-Nya.
            Sementara itu, orang yang terbuka dengan cahaya ketiga akan memiliki dzat dan jiwa yang suci. Ia akan merasa kefanaan secara total. Kefanaan yang abadi karena luluh dengan wujud Tuhannya. Rahasia-rahasia Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dari kefanaan total itu, ia akan menempati maqam keabadian.
            Penulis al’-Awarif berkata, “Orang yang abadi di satu maqam tidak akan dihalangi Allah dari makhluk dan tidak akan dihalangi makhluk dari Alah, sedangkan orang yang fana akan terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 36

“Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu dari pada berteman dengan orang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Di mana letak berilmunya orang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Di mana pula letak bodohnya orang bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu?”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Orang bodoh ialah orang yang tidak memiliki ilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.
            Tidaklah baik berteman dengan seseorang yang puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa mendapatkan sifat buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu. Seakan ia bukan orang yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiliki dirinya.
            Sebaliknya, berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain; nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya – yang membuatnya tidak puas terhadap keadaan dirinya – justru amat berguna bagimu. Seakan ia bukan orang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yang tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu.

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)



Minggu, 22 Maret 2015

Al-Hikam 35

“Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran, dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukkan diri dan membuat lupa dari Allah swt.
            Menurut orang-orang ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai dari Allah. Sehingga, hatinya tidak lagi mampu mengawasi dan mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang dikuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus maksiat.
            Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridai-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihan dari syahwat.
            Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Siapa yang bersifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala hal yang datang dan menyerang.
            Dengan sikap waspada dan sadar diri ini, ia dapat menyelidiki dan mendeteksi secara dini bisikan-bisikan hatinya. Saat itu, api syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah.
            Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah melarang kita untuk berteman dengan orang-orang semacam itu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 34

“Keluarkanlah sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan kehambaanmu agar kau mudah menyambut panggilan Yang Haq (Allah) dan dekat dengan-Nya”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Keluarkanlah dari dirimu sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dengan riyadhah dan mujahadah; baik itu sifat-sifat tercela yang lahir (seperti suka melakukan gjibah, adu domba, membunuh, dan merampas) maupun yang batin (seperti sombong, ujub, riya’, sum’ah [ingin terkenal], dengki, gila harta dsb).
            Jauhkan dirimu dari sifat-sifat yang bertentangan dengan prediakat kehambaanmu agar kau mudah menjawab seruan Yang Haq. Ketika kau berhasil mengeluarkan sifat-sifat tercelamu dan menyisakan sifat-sifat baikmu (seperti tawadhu’ [rendah hati] karena Allah, khusyuk dihadapan-Nya, takut kepada-Nya, dan ikhlas menyembah-Nya), maka disaat datang seruan kepadamu, “wahai hambaku!” kau pun akan dengan mudahnya menjawab, “Labbaik, Tuhanku!” Kau pun akan tulus dan ikhlas dalam menjawab seruan itu karena sifat-sifat yang bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa dan memudahkan segala amalmu yang kelak akan kau nikmati hasilnya.
            Ada perbedaan makna antara mahfuz (terjaga dari dosa) dengan lafal ma’shum (terlindungi dari dosa). Bedanya adalah ma’shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuz terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seorang mahfuz akan langsung bertobat.
            Ketahuilah, dimata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakikat dan tujuan suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yang diberi taufik dan bimbingan Allah untuk mengenali dirinya sendiri dan mengetahui sifat-sifat buruknya. Karena siapa yang sudah mengenali dirinya dan sifat-sifat buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat-sifat buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan terjerumus ke dalam hal-hal yang dibenci Tuahnnya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 33

“Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yang terhijab adalah pandanganmu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupinya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya wujudnya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah, padahal, “Dia adalah Mahakuasa (qahar) atas segala sesuatu.” (QS.al-An’am[6]: 18)”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Terhijab bukanlah sifat Allah swt. yang memiliki sifat terhijab adalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu.
            Hikmah diatas menepis anggapan yang menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal ini tidak mungkin terjadi pada Allah swt. berdasarkan firman-Nya, “Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui.”(QS.al-An’am[6]: 18)
           

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Selasa, 17 Maret 2015

Al-Hikam 32

“Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai gaib yang terhijab bagimu”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Contoh kekurangan diri ialah sifat riya’, tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus dibawah bimbingan seorang guru. Langkah di atas lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia ilahi, ilmu laduni atau karamah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari rida Tuhanmu.
            Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan kau sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.
            Oleh sebab itu, orang-orang berkata, “jadilah pencari istikamah, jangan menjadi pencari karamah.” Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Tuhanmu menuntutmu untuk istikamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau menunaikan keinginanmu sendiri.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 31

“Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan, sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya pertemuan dengan-Nya. Golongan pertama mendatangi cahaya, sedangkan golongan kedua didatangi oleh cahaya. Allah swt. berfirman, “Katakan ‘Allah’, lalu biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya.””
(QS.al-An’am[6]: 92)
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Cahaya yang didapat golongan pertama ialah cahaya yang didapat dari ibadah dan riyadhah (olah batin) yang dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah.
            Adapun golongan kedua, justru cahaya Allahlah yang mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah.
            Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya.
            Adapun maksud firman “Katakan Allah” ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya-cahaya atau hal-hal selain-Nya. Kemudian, maksud “biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya” ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yang didasari haqqul yakin (keyakinan yang kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha-leha. Tentu itu adalah sifat orang-orang yang mahjub (terhalang).


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 30

“Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki (yaitu orang yang telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya (yaitu orang yang tengah menuju Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya. Ini adalah gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah sampai kepada Allah. Yakni orang-orang yang telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan mata batin. Karena itulah, mereka dianugerahi rezeki berupa berbagai ilmu dan rahasia Ilahi serta pandangan yang luas dan jauh kedepan. Sehingga, merekapun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.
            Sementara itu, orang yang disempitkan rezekinya adalah orang-orang yang sedang menuju kepada-Nya. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yang sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yang Allah ajarkan kepada mereka.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 29

“Betapa jauh bedanya antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam dan orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yang menyatakan “adanya Allah menunjukkan adanya alam” adalah orang yang telah mengenal al-Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari keberadaan pangkal (Dzat) yang membuatnya ada. Sementara itu, yang berdalil “adanya alam menunjukkan adanya Allah” adalah orang yang belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan Allah itu gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jauh sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya? ”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Orang–orang yang dekat kepada Allah ada dua golongan, yaitu murad (yang dikehendaki Allah) atau majdzub (yang ditarik Allah untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yang menghendaki Allah) atau salik (yang meniti jalan menuju Allah). Para murad atau majdzub adalah ahli syuhud.
            Adapaun para murid atau salik, perjalanan merekan menuju Tuhan masih terhalang akibat pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir, sedangkan Allah itu gaib. Mereka tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud alam semesta ini membuktikan wujud Allah.
            Sementara itu para murad atau majdzub, mereka langsung didekati Allah dengan Wajah-Nya Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri-Nya kepada mereka. Karena itu, merekapun mengenali-Nya. Semua makhluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena mereka berdalil bahwa wujud Allah adalah bukti wujud semesta. Mereka itulah kaum ‘arif. Mereka termasuk orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya.
            Namun, karena sikap istikamah mereka terhadap kondisi mereka, tanda didekatkannya mereka kepada Allah (jadzab) tidak tampak pada diri mereka. Oleh sebab itu, ada yang mengatakan, “akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub.
            Manusia yang paling kuat jadzab-nya adalah para nabi dan rasul. Inilah perbedaan antara dua kelompok tersebut.
            Orang yang menggunakan Allah sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah sebagai wujud yang wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah semata. Adapun benda-benda yang hadits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yang hadits berasal dari wujud asal, yaitu Allah swt. Mereka menganggap bahwa wujud makhluk bersumber dari wujud Khalik yang tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud.
            Berbada dengan orang yang menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah. Ia menggunakan sesuatu yang tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yang sudah diketahui (ma’lum), menggunakan ketiadaan (‘adam) untuk membuktikan keberadaan (wujud), atau menggunakan perkara yang tersembunyi (khafy) untuk membuktikan hal yang lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia  lebih suka menelusuri sebab-sebab dari pada mencari Sang Pembuat Sebab.
            Sejak kapan Allah gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yang hadir? Sejak kapan Allah itu jauh sehingga alam semesta inilah yang akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yang diajukan para ahli syuhud.
            Sementara itu, orang-orang mahjub (yang terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai bukti wujud Allah. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kaum awam dan para salik yang belum mencapai maqam ahli syuhud.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 28

“Apa yang tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Makrifat dan cahaya Ilahi yang ditetapkan Allah di dalam hati seseorang pasti akan muncul pada penampilan lahirnya, pada wajah dan anggota tubuh lainnya. Ini adalah tanda untuk mengenali keadaan seorang murid menuju Allah, karena tampilan lahir adalah cermin dari keadaan batin. Bagi orang-orang yang ingin berteman dan berkumpul dengan seorang murid, penampilan lahirnya ini bisa menjadi pertanda.



(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 27

“Siapa yang bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Siapa yang awalnya cerah dan bersinar, misalnya dengan mengisi waktu-waktunya dengan bermacam ketaatan, wirid, dan bersabar sepenuh hati dalam menjalaninya, maka akhir perjalanannya akan bersinar pula. Bersinar karena memancarnya berbagai nur dan makrifat kepadanya dan hilangnya berbagai kekeruhan jiwa yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya.
            Demikian pula sebaliknya, siapa yang usahanya kurang di awal maka di akhir ia tidak akan mendapatkan kegemilangan. Sekiranya ia diberikan keberhasilan, keberhasilan itu lebih lemah daripada yang lain. Bisa jadi, pengertian “bersinar di awal” di sini ialah kembali kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Adapun makna “bersinar di akhir” ialah berhasil sampai kepada-Nya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 26

“Di antara tanda keberhasilan di akhir adalah kembali kepada Allah di awal”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Langkah awal seorang murid patut diperbaiki demi memperbesar kemungkinannya untuk sampai hingga akhir perjalanannya. Siapa yang memperbaiki dan meluruskan langkah awalnya dengan kembali kepada Allah dan tawakkal kepada-Nya serta memohon pertolongan-Nya, bukan bergantung pada amalnya yang kurang sempurna, pada akhirnya ia akan sukses dan berhasil. Ia akan sampai pada tujuan akhirnya dan tidak akan goyah di perjalanannya. Barang siapa yang tidak melakukan hal itu maka di tengah jalan ia akan berhenti dan pulang kembali ke tempat pemberangkatannya semula.
            Seorang ‘arif berkata, “Siapa yang mengira bahwa ia telah sampai kepada Allah tanpa bantuan-Nya maka ia akan terhenti di jalan. Siapa yang memohon bantuan dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah maka ia akan bergantung pada dirinya sendiri.”



(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Minggu, 15 Maret 2015

Al-Hikam 25

“Apa yang kauminta tak akan terhalang selama kau memintanya kepada Tuhanmu. Namun, apa yang kauminta tak akan datang selama kau mengandalkan dirimu sendiri”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Permintaan yang dimaksud pada hikmah ini bersifat umum, meliputi semua permintaan, baik itu yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Apa yang kauminta dan inginkan tidak akan terhalang selama dalam mencarinya kau tetap memerhatikan Tuhanmu, menghadirkan-Nya dalam hatimu, dan bersandar kepada-Nya agar memudahkan permintaan dan urusamu. Namun, permintaan itu sulit kau raih bila kau lalai dari-Nya dan bersandar kepada orang-orang sekitarmu atau pada kekuatanmu sendiri.
            Barang siapa menyerahkan segala kebutuhannya kepad Allah, berlindung dan bertawakkal kepada-Nya, Allah akan mencukupi kebutuhannya, mendekatkan yang jauh darinya, dan memudahkan segala yang sulit baginya. Barang siapa yang mengandalkan ilmu dan akalnya serta bersandar pada kekuatan dan kemampuannya, Allah akan mempersulitnya dan membuatnya gagal. Apa yang diinginkan dan dibutuhkannya itu tidak akan mudah didapatkan dan sulit diwujudkan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 24

“Jangan merasa aneh dengan terjadinya penderitaan-penderitaan selama kau masih hidup di dunia ini karena dunia hanya akan menampakkan apa yang mesti ditampakkannya”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Di antara hal yang lazim terjadi di dunia adalah derita dan kesulitan. Dunia ini diciptakan sebagai tempat kebendaan dan gudang penderitaan agar kau menjauhkan dirimu dari sana.
            Ja’far ash-Shadiq berkata, “siapa yang mencari apa yang belum diciptakan berarti menyiksa dirinya sendiri karena ia mencari sesuatu yang tak akan pernah didapatkannya.”
            Ia lalu ditanya, “Apa gerangan yang tak akan pernah didapatkannya itu?” ia lalu menjawab, “kenyamanan di didunia.”
            Oleh karena itu, seorang murid yang tulus tidak boleh melirik dunia. Ia harus terus semangat dalam meniti jalannya agar mentari makrifat terbit kepadanya sehingga tipuan benda-benda duniawi itu hilang dari pandangannya dan penderitaan akan sirna dengan kesempatan melihat Tuhan Yang Mahamulia dan Pengampun.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 23

“Jangan menanti-nanti hilangnya kecendrungan-kecendrungan kepada dunia. Karena hal itu dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas ahwal yang telah ditetapkan-Nya untukmu”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Kecendrungan-kecendrungan kepada dunia memang merupakan kgelapan yang dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan bertanya-tanya kapan kecendrungan-kecendrungan itu bisa hilang secara total dari hatimu. Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (ahwal) yang telah ditetapkan untukmu saat ini, yakni berupa amal-amal yang bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam pengawasan-Nya.
            Yang dituntut darimu ialah senatiasa istikamah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap merasa diawasi Allah. Jangan kau sibuk dengan segala hal yang masuk kedalam hatimu, baik berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu.
            Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan, “kalau benar aku ini ahli iradah, tentunya kecendrungan-kecendrungan kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk kedalam hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yang sudaah kulakukan selama ini.” Sehingga hatimu sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa yang menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan amal saleh.
            Biasanya, sebab kemunculan kecendrungan-kecendrungan kepada dunia ini adalah kotoran-kotoran keduniaan yang menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yang mau tidak mau harus kau hadapai.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 22

“Pada setiap desahan nafas yang kau hembuskan terdapat takdir Allah yang telah ditetapkan”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Setiap nafas yang keluar darimu telah ditakdirkan Allah, baik yang terkandung didalamnya ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap nafas yang keluar darimu adalah satu dari sekian takdir Allah untukmu, siapapun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap desahan nafasmu. Dengan begitu, disetiap nafas, kau menjadi seorang salik yang ingin meniti jalan menuju Allah. Inilah makna ungkapan “jalan menuju Allah sebanyak desahan nafas seluruh makhluk.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 21

“Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti menggibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Dalam perjalanannya menuju Allah, seorang murid harus sibuk melakukan amal-amal saleh yang diridai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah.
            Bila kau meminta kepada Allah agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Mahakuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatupun dari-Nya.
            Bila kau menacri-cari Allah agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan melakukan ghibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya dibelakang) karena Dzat Yang Mahahadir tidak perlu lagi dicari-cari.
            Bila kau mencari selian Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yang lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.
            Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan-persoalanmu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk-makhluk-Nya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.
            Bagi kalangan murid, meminta kepada sang Khalik adalah hal yang lumrah. Bahkan, meminta kepada makhluk pun adalah hal yang wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang ‘arif hanya memandang kepada Allah. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada sang Khalik.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Sabtu, 14 Maret 2015

Al-Hikam 20

“Di saat tekad salik ingin berhenti pada apa yang tersingkap baginya, suara-suara hakikat pun memperingatinya, “yang kau cari ada didepanmu” Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat-hakikatnya pun berujar, “Kami hanyalah ujian maka jangan kau kufur””
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Tekad seorang salik (peniti jalan menuju Allah) tidak akan berhenti setelah mendapatkan makrifat, rahasia, dan cahaya-cahaya ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, ahwal, dan maqam yang telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan-bisikan hakikat Ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai di situ, “karena apa yang kau cari ada di depanmu” apa yang dicari dan diinginkan salik adalah “sampai kepada Tuhannya”, bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya.
            Saat dunia sedang menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yang tak kaudengar, “kami hanya ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai disini. Jangan jadikan dirimu budak kami sehingga kau akan terhalang dari Allah karena sikap semacam ini sama saja dengan kufur terhadap nikmat Tuhan Pemberi Nikmat.”
            Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang Memberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yang sama tetap menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tidak tahu diri dihadapan Tuhan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Al-Hikam 19

“Menunda amal karena menunggu waktu yang luang termasuk tanda kebodohan”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Jika seorang murid menunda-nunda amal yang bisa mendekatkannya kepada Tuhannya karena merasa tidak memiliki waktu luang disela kesibukan duniawinya, tindakan itu merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh karena ia telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi alih-alih mendapatkan waktu luang untuk beramal ibadah, justru ajal yang menjemputnya tiba-tiba. Bisa jadi juga, justru kesibukannya semakin bertambah karena kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk sebab satu sama lain saling berkaitan.
            Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah.  Oleh karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal-amal yang mendekatkan dirinya kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan, “waktu ibarat pedang. Jika kau tidak bisa menggunakannya, niscaya ia akan menebasmu.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)