“Alangkah bodohnya orang yang
menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yang tidak dikehendaki-Nya”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Jika hati atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga
kesopanan di hadapan Allah dengan merelakan diri untuk tetap berada pada
keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya dari sana. Dengan
satu catatan: keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat.
Misalnya, jika ia sedang berada
dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid),
ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai
Allah sendiri yang memindahkannya ke keadaan yang lain. Jika terbesit di
hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah
menolak keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap
Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke
pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi
kaya.
Empat puluh tahun silam, seseorang
berkata kepadaku, “Bila Allah menempatkanku pada suatu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikitpun aku
kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekali pun aku menolaknya.”
Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah dan
ketuhanan-Nya.
Jika seseorang membenci keadaan
dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah dari keadaan itu dan
menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan Allah
kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah
bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang “hukum
waktu” yang diisyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang “hukum waktu”
merupakan dosa besar.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar