Sabtu, 14 Maret 2015

Al-Hikam 17

“Alangkah bodohnya orang yang menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yang tidak dikehendaki-Nya”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Jika hati atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga kesopanan di hadapan Allah dengan merelakan diri untuk tetap berada pada keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan: keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat.
            Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas dari keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya ke keadaan yang lain. Jika terbesit di hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.
            Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, “Bila Allah menempatkanku pada suatu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikitpun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekali pun aku menolaknya.” Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah dan ketuhanan-Nya.
            Jika seseorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah dari keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan Allah kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang “hukum waktu” yang diisyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang “hukum waktu” merupakan dosa besar.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar