Jumat, 31 Juli 2015

Al-Hikam 83

“Kaum ‘arif lebih khawatir ketika diberi kelapangan daripada ketika diberi kesempitan, karena yang bisa menjaga etika saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Mereka amat mengkhawatirkan diri mereka jika diberi Allah kelapangan. Bagi mereka, kelapangan lebih cocok dengan hawa nafsu. Saat itu, mereka takut terjerumus oleh dorongan hawa nafsu untuk selalu berbicara tentang ahwal, karamah, dan keistimewaan lain yang mereka miliki. Mungkin di situlah letak keterusiran dan keterasingan mereka. Terkadang pula, pada saat itu, dari diri mereka terucap ucapan yang tidak sesuai dengan keagungan Tuhan. Saat itulah mereka dituntut untuk selalu menjaga adab dan menahan diri. Itu amat sulit bagi mereka dalam kondisi ini.
Oleh sebab itu, Ibnu Atha’illah berkata, “Yang bisa menjaga adab pada saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”
Dalam Latha’if al-Minan disebutkan bahwa kelapangan dapat menggelincirkan kaki orang-orang. Ia menuntut agar mereka lebih waspada dan berhati-hati. Kesempitan lebih dekat kepada keselamatan karena ia merupakan tempat hamba berada dalam genggaman Allah. Di sana pula kuasa Allah meliputinya. Dari manakah gerangan datangnya kelapangan? dari Allah.
Kelapangan sama dengan keluar dari hukum waktu-Nya, sedangkan kesempitan adalah keadaan yang memang layak ada di dunia ini. Karena dunia adalah negeri yang penuh beban, misteri tentang masa depan, ketidaktahuan tentang masa lalu, dan tempat tuntutan pelaksanaan hak-hak Allah.  


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar