“Kaum ‘arif lebih khawatir ketika
diberi kelapangan daripada ketika diberi kesempitan, karena yang bisa menjaga
etika saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Mereka amat mengkhawatirkan diri
mereka jika diberi Allah kelapangan. Bagi mereka, kelapangan lebih cocok dengan
hawa nafsu. Saat itu, mereka takut terjerumus oleh dorongan hawa nafsu untuk
selalu berbicara tentang ahwal, karamah,
dan keistimewaan lain yang mereka miliki. Mungkin di situlah letak keterusiran
dan keterasingan mereka. Terkadang pula, pada saat itu, dari diri mereka
terucap ucapan yang tidak sesuai dengan keagungan Tuhan. Saat itulah mereka
dituntut untuk selalu menjaga adab dan menahan diri. Itu amat sulit bagi mereka
dalam kondisi ini.
Oleh sebab itu, Ibnu Atha’illah berkata, “Yang bisa
menjaga adab pada saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.”
Dalam Latha’if
al-Minan disebutkan bahwa kelapangan dapat menggelincirkan kaki
orang-orang. Ia menuntut agar mereka lebih waspada dan berhati-hati. Kesempitan
lebih dekat kepada keselamatan karena ia merupakan tempat hamba berada dalam
genggaman Allah. Di sana pula kuasa Allah meliputinya. Dari manakah gerangan
datangnya kelapangan? dari Allah.
Kelapangan sama dengan keluar dari hukum waktu-Nya,
sedangkan kesempitan adalah keadaan yang memang layak ada di dunia ini. Karena
dunia adalah negeri yang penuh beban, misteri tentang masa depan, ketidaktahuan
tentang masa lalu, dan tempat tuntutan pelaksanaan hak-hak Allah.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar