“Semasa lapang, nafsu bisa memainkan
perannya melalui rasa gembira. Semasa sempit, nafsu tidak bisa berbuat apa-apa.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Dalam hikmah ini, terdapat penegasan
tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga etika saat lapang itu amat sulit.
Sebab, tidak ada yang bisa menjaga etika dalam kondisi itu kecuali segelintir
orang.
Seakan Ibnu Atha’illah berkata, “Memang demikian
adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan.”
Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai,
melupakan kewajiban, mengaku-ngaku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin, dan rahasia-rahasia, selalu
berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal-hal luar biasa, menyinggung
masalah karamah, dan bersuara tentang maqam
masing-masing. Semuanya itu tentu bertentangan dengan prinsip ‘ubudiyah.
Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa
beruntung dan memiliki peran apa-apa. Nafsu tidak akan sombong dengan
menampakkan sesuatu yang menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman
dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika-etika ‘ubudiyah. Oleh karena itu, orang-orang ‘arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar