Jumat, 31 Juli 2015

Al-Hikam 84

“Semasa lapang, nafsu bisa memainkan perannya melalui rasa gembira. Semasa sempit, nafsu tidak bisa berbuat apa-apa.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Dalam hikmah ini, terdapat penegasan tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga etika saat lapang itu amat sulit. Sebab, tidak ada yang bisa menjaga etika dalam kondisi itu kecuali segelintir orang.
Seakan Ibnu Atha’illah berkata, “Memang demikian adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan.”
Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai, melupakan kewajiban, mengaku-ngaku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin, dan rahasia-rahasia, selalu berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal-hal luar biasa, menyinggung masalah karamah, dan bersuara tentang maqam masing-masing. Semuanya itu tentu bertentangan dengan prinsip ‘ubudiyah.
Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa beruntung dan memiliki peran apa-apa. Nafsu tidak akan sombong dengan menampakkan sesuatu yang menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika-etika ‘ubudiyah. Oleh karena itu, orang-orang ‘arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar