Rabu, 21 Oktober 2015

Alhikam 16 (Buku Kedua)

“Kepada kehendak-Nya segala sesuatu bergantung, sementara kehendak-Nya tidak bergantung pada sesuatu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Setiap yang memiliki wujud bersandar kepada kehendak Allah karena kehendak Allah sudah ditetapkan sejak azali. Sementara itu, kehendak Allah tidak bergantung pada sesuatu yang memiliki wujud.
“Kehendak Allah” bermakna sesuatu yang diputuskan sejak azali dan padanya bergantung keinginan hamba yang sudah diketahui Allah, karena permintaan hamba dengan do’a dan amal saleh tidak menjadi sebab yang memengaruhi kehendak Allah itu.
Ungkapan Ibnu Atha’illah di atas adalah ungkapan yang amat tepat. Di dalamnya terkandung isyarat adanya ketergantungan segala sesuatu pada putusan-putusan azali dan dikesampingkannya sebab-sebab. Oleh karena itu, seorang hamba harus senantiasa melakukan ‘ubudiyah, merasa butuh kepada-Nya, dan mengabaikan pengaturan dan pilihan dirinya.
Abu bakar al-Wasithi berkata, “Sesungguhnya Allah tidak mendekati seorang fakir karena kefakirannya dan tidak menjauhi seorang kayak arena kekayaannya. Allah tidak peduli dengan berbagai keadaan hamba untuk memberi atau menahan karunia-Nya. Sekiranya dunia dan akhirat dikerahkan  untuk bisa sampai kepada-Nya, niscaya tidak akan membuatmu sampai kepada-Nya. Jika kausingkirkan keduanya pun, niscaya tidak akan memutus jalanmu kepada-Nya, tidak memutus jalan orang-orang yang mendekati-Nya tanpa sebab, dan tidak menjauhkan orang yang menjauhi-Nya tanpa sebab. Allah swt. berfirman, ‘Barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.’” (QS. an-Nur [24]: 40)


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar