Kamis, 01 Januari 2015

Al-Hikam 1

“Di antara tanda sikap mengandalkan amal ibadah ialah berkurangnya harap kepada Allah tatkala khilaf”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Amal yang dimaksud disini ialah amalal ibadah, seperti shalat dan zikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah (bukan pada Allah SWT secara murni). Mereka itu adalah para ‘abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amala ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah, menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik (‘arif). Mereka tidak sedikitpun bergantung pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah swt semata, sedangkan mereka hanya objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah swt.
Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha’illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, disaat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah yang Maha Rahmat yang akan memasukkannya ke surga, menyelamatkan nya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap masuk golongan ‘abid atau murid. Namun, apabia merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan ‘arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan ‘arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah, golongan ‘arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Tetapi itu semua juga karena kehendak dan kekuasaan Allah jua. Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) ‘arif dengan banyak melakuan olah batin (riyadhah) dan wirid.
Melalui hikmah diatas, Ibnu Atha’illah ingin mendorong para salik (peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah, termasuk bergantung pada amal ibadah.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar