Minggu, 14 Juni 2015

Al-Hikam 80

“Yang diminta seorang ‘arif dari Allah adalah ketulusan dalam beribadah dan pemenuhan hak-hak Tuhan-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Yang diminta oleh orang ‘arif ini lebih tinggi daripada yang diminta oleh orang selainnya, baik itu ahli ibadah, zahid, maupun alim. Hal itu dikarenakan, yang diminta oleh orang ‘arif hanyalah bagaimana bisa tulus dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memerhatikan etika penghambaan, berkhlak dengan akhlak hamba dan melaksanakan hak-hak Allah.
            Hak-hak Allah itu adalah bersyukur atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, menjadikan penolong orang yang menolong-Nya, bertawakkal kepada-Nya, merasa diawasi-Nya (muraqabah), berdiri di hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian tawadhu’ dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yang butuh, memegang tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta sifat-sifat dan akhlak ‘ubudiyah lainnya.
            Siapa yang tulus dalam mengerjakan itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Contoh memenuhi hak-hak Tuhan secara lahir adalah dengan taat secara lahir, muraqabah secara batin, dan selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.
            Hikmah di atas menjelaskan bahwa seorang ‘arif hanya meminta dua perkara, tanpa memerhatikan keuntungan diri. Artinya, orang-orang ‘arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yang lain tidak pernah memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan seorang ‘arif lebih tinggi daripada permintaan selainnya.
            Abu Madyan berkata, “Ada perbedaan antara orang yang tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yang keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah.”



(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar