Sabtu, 13 Juni 2015

Al-Hikam 69

“Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yang ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang-orang ‘arif atau kegenitan kaum pencinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Ditolong ialah dipalingkan dari kesibukan-kesibukan yang membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna “dilanggengkan” disini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zahid dan ‘abid.
            “Tanda orang arif” ialah karakter orang-orang ‘arif yang meninggalkan ikhtiar dan tidak memedulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adapun maksud “kegenitan para pencinta Tuhan” ialah bukti-bukti dan pengaruh cinta yang tampak pada diri orang-orang yang mencintai Allah (muhibbin). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah dengan sering berzikir mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya.
            Ibnu Atha’illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni sudah istikamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda-tanda kaum ‘arif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan kerunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istikamah dalam berwirid.
            “Wirid” bermakna segala amal ibadah yang dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, zikir, maupun ibadah lainnya. Denga demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya.
            Kesimpulannya, hamba-hamba Allah yang khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabun dan abrar. Muqarrabun adalah orang-orang yang tidak memedulikkan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak-hak Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubudiyah) kepada-Nya dalam rangka mencari rida-Nya. Mereka adalah kaum ‘arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, ‘abrar ialah orang-orang yang dalam ibadah mereka masih memedulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka. Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya dan kepada kedua golongan ini sesuai maqam mereka satu mereka masing-masing.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

1 komentar:

  1. Bismillahirrohmaanirrohiim mohon share jzkk Moga diterima sebagai amal soleh In Syaa Allah Aamiin Allahumma Aamiin

    BalasHapus