“Sedih karena kehilangan kesempatan
berbuat ketaatan, namun tanpa disertai upaya untuk bangkit mengerjakannya,
merupakan salah satu tanda ketertipuan.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Kesedihan seperti ini biasanya
merupakan akibat ketergantungan atas sesuatu yang tidak ada wujudnya. Ini
kesedihan semu yang biasanya disertai dengan tangisan yang juga semu. Dalam
pepatah disebutkan, “Berapa banyak mata yang meneteskan air mata, tetapi
hatinya tetap keras.”
Orang yang bersedih semu itu akan
merasa aman dari makar Allah yang tersamar. Allah akan menahan apa yang berguna
baginya dan memberi apa yang membuatnya sedih dan menangis. Dengan begitu, ia
menganggap baik ahwal-nya dan
menganggap dirinya berguna. Adapun kesedihan yang tulus dan sungguh-sungguh
adalah yang mendorong kepada ketaatan dan diiringi dengan tangisan yang benar.
Ini adalah maqam para salik.
Abu Ali ad-Daqqaq yang selalu
bersedih menuturkan bahwa ia meniti jalan Allah dalam sebulan seperti orang
yang belum pernah menempuh jalan Allah selama bertahun-tahun.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar