Sabtu, 13 Juni 2015

Al-Hikam 77

“Sedih karena kehilangan kesempatan berbuat ketaatan, namun tanpa disertai upaya untuk bangkit mengerjakannya, merupakan salah satu tanda ketertipuan.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Kesedihan seperti ini biasanya merupakan akibat ketergantungan atas sesuatu yang tidak ada wujudnya. Ini kesedihan semu yang biasanya disertai dengan tangisan yang juga semu. Dalam pepatah disebutkan, “Berapa banyak mata yang meneteskan air mata, tetapi hatinya tetap keras.”
            Orang yang bersedih semu itu akan merasa aman dari makar Allah yang tersamar. Allah akan menahan apa yang berguna baginya dan memberi apa yang membuatnya sedih dan menangis. Dengan begitu, ia menganggap baik ahwal-nya dan menganggap dirinya berguna. Adapun kesedihan yang tulus dan sungguh-sungguh adalah yang mendorong kepada ketaatan dan diiringi dengan tangisan yang benar. Ini adalah maqam para salik.
            Abu Ali ad-Daqqaq yang selalu bersedih menuturkan bahwa ia meniti jalan Allah dalam sebulan seperti orang yang belum pernah menempuh jalan Allah selama bertahun-tahun.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar