Sabtu, 14 Februari 2015

Al-Hikam 13

“Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannnya?”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

            Bagaimana mungkin qalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat serta bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu diandalkannya.
            Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah? Orang yang terbelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalaiannya?
            Disini Ibnu Atha’illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seseorang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak akan diizinkan menemui Allah swt.
            Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum ’arif, sedangkan ia belum bertobat dari kesalahan atau maksiat yang tidak sengaja dilakukannya?
            Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha’illah mengungkapkan kejanggalan yang dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yang diinginkannya, sedangkan ia masih melakukan hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal lain yang bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.
            Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan degan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaaan, bukan dengan keinginan yang besar untuk selalu melakukan maksiat.
            Allah swt. Berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah [2]: 282)
            Dalam sebuah khabar disebutkan, ”Siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak diketahuinya.”
            Keempat hal di atas sebenarnya saling mempengaruhi satu sama lain. Tampilanya gambaran keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelengguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab segala kekeliruan, dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati.        

(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar