“Bagaimana mungkin qalbu akan
bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya?
Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu
nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum
bersuci dari kotoran kelalaiannya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat
menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannnya?”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Bagaimana mungkin qalbu akan
bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap
bisa mendatangkan manfaat serta bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu
diandalkannya.
Jika hati masih terbelenggu nafsu,
bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah? Orang yang terbelenggu tentu
tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah, sedangkan ia
masih belum suci dari junub kelalaiannya?
Disini Ibnu Atha’illah mengumpamakan
kelalaian dengan junub. Dan seseorang junub tidak diperbolehkan memasuki
masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak akan diizinkan
menemui Allah swt.
Bagaimana mungkin hati akan mewarisi
ilmu kaum ’arif, sedangkan ia belum
bertobat dari kesalahan atau maksiat yang tidak sengaja dilakukannya?
Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha’illah
mengungkapkan kejanggalan yang dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin
seseorang bisa meraih sesuatu yang diinginkannya, sedangkan ia masih melakukan
hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya dapat
diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal lain
yang bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.
Perjalanan menuju Allah hanya bisa
dilakukan degan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu
dan syahwat. Pertemuan dengan Allah hanya bisa terjadi bila hati telah suci.
Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi
pertemuan dengan Allah. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail
rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaaan, bukan dengan keinginan yang
besar untuk selalu melakukan maksiat.
Allah swt. Berfirman, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah
akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Dalam sebuah khabar
disebutkan, ”Siapa yang beramal dengan
ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak diketahuinya.”
Keempat hal di atas sebenarnya
saling mempengaruhi satu sama lain. Tampilanya gambaran keduniaan di dalam
cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelengguan
hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab segala kekeliruan,
dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar