Sabtu, 28 November 2015

Alhikam 95 (Buku Kedua)

“Dia menunjukkan wujud nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya. Dia menunjukkan sifat-sifat-Nya lewat keberadaan nama-Nya. Dia menunjukkan wujud dzat-Nya lewat keberadaan sifat-sifat-Nya. Pasalnya, tidak mungkin sifat tersebut ada dengan sendirinya. Orang-orang yang ditarik kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya, kemudian dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya. Adapun para salik, mereka mengalami kondisi sebaliknya. Akhir perjalanan para salik adalah awal perjalanan kaum majdzub (yang ditarik kepada-Nya). Sementara itu, awal perjalanan salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub. Hal itu tidak berarti bahwa keduanya sama. Bisa saja keduanya bertemu di jalan. Yang satu sedang naik, sedangkan yang lain sedang turun.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Allah menunjukkan asma’-Nya lewat keberadaan jejak-jejak atau ciptaan-Nya yang baik dan sempurna. Semua ciptaan tidak akan terwujud, kecuali dari Dzat Yang MahaMampu, MahaBerkehendak, dan MahaMengetahui.
Dia juga menunjukkan sifat-sifat-Nya seperti qudrah (MahaKuasa), iradah (MahaBerkehendak), dan ‘ilmu (MahaMengetahui) lewat keberadaan asma’-Nya. Lewat sifat-sifat-Nya itu, Dia menunjukkan wujud dzat-Nya karena tak mungkin sifat ada sendiri tanpa sosok yang memiliki sifat itu.
Inilah kondisi para salik. Hal pertama yang tampak bagi mereka adalah jejak-jejak Allah, yaitu berupa perbuatan-Nya (af’al). Mereka kemudian menjadikan perbuatan-Nya itu sebagai bukti adanya asma’ Allah. Asma’ tersebut menunjukkan adanya sifat-sifat-Nya. Dengan sifat-sifat itu pula, mereka membuktikan adanya dzat Allah. Merekalah yang berkata, “Kami tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat Allah padanya.”
Sebaliknya dengan orang-orang . Hal itu diisyaratkan oleh Ibnu Atha’illah melalui butiran hikmah sebagai berikut:
“Orang-orang yang ditarik kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya,” yaitu agar mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri dan perasaannya.
1.majdzub adalah orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya sehingga ia mendapatkan keistimewaan tanpa bersusah payah menempuh berbagai maqam untuk meraihnya. Adapun salik adalah orang-orang yang baru mendapatkan keistimewaan dari Allah setelah bersusah payah meniti jalan menuju-Nya.
“Kemudian, mereka dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya,” bermakna melihat hubungan sifat-sifat itu dengan dzat-Nya.
“Lalu digiring untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya,” misalnya dengan menyaksikan hubungan antara asma’ Allah dengan makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari asma’ Allah, mereka akan dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.
Hal pertama yang tampak bagi kaum majdzub adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik dari sana untuk melihat sifat-sifat-Nya. Selanjutnya, mereka kembali bergantung kepada asma’-Nya. Setelah itu, mereka diturunkan lagi untuk melihat makhluk-makhluk-Nya. Mereka itulah yang berkata, “Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah.”
Jika akhir perjalanan para majdzub adalah melihat makhluk-makhluk Allah setelah melihat Allah, akhir perjalanan para salik berbeda. Di akhir perjalanannya, para salik menyaksikan Dzat suci-Nya dan mengungkap kesempurnaan-Nya setelah sebelumnya melihat makhluk-Nya.
Dengan demikian, awal perjalanan para salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub, yaitu melihat makhluk dan menyaksikan ketergantungannya kepada Allah. Itu merupakan akhir perjalanan kaum majdzub. Namun demikian, tidak berarti kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan ditarik Allah (jadzab), para salik harus terlebih dahulu memiliki keteguhan dan ilmu tentang kondisi perjalanannya serta pengetahuan tentang hambatan jiwa.
Mereka tidak akan ditarik Allah, kecuali setelah melalui perjuangan dan kesulitan. Lain halnya dengan awal perjalanan para majdzub, mereka tidak perlu memiliki keteguhan. Oleh sebab itu, di awal perjalanannya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidaksadaran) dan tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran-kemungkaran syar’i. Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu karena akal mereka, yang merupakan poros taklif, tengah tertutup oleh cahaya.
Di awal perjalanan para salik, mereka tidak menyaksikan kesempurnaan dzat, asma’, dan sifat-Nya. Lain halnya dengan akhir perjalanan para majdzub, mereka tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan dzat, asma’, dan sifat-Nya.
Para salik beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefanaan dan kesirnaan. Sementara itu, para majdzub dipaksa berjalan untuk menuruni jalan keabadian dan kesadaran. Jika demikian, bisa saja keduanya bertemu di tengah jalan. Yang satu sedang naik dari makhluk menuju Khalik, sedangkan yang lain sedang turun dari Khalik menuju makhluk.
Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli asma’ dan sifat-sifat-Nya, yakni masing-masing dari mereka menyaksikan asma’-Nya. Namun, seorang majdzub, jika berpindah dari situ, berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan salik berpindah kepada sifat. Tentu salik lebih utama dari majdzub karena ia banyak mengambil manfaat dari perjalanannya. Lain halnya dengan majdzub, jika Allah menghendaki untuk menyempurnakan kondisinya, Allah akan membuatnya sadar.
Masing-masing dari ilmu salik dan majdzub bersumber dari perasaan walaupun prinsip ilmu salik lebih bersifat deduktif, sebagaimana yang disimpulkan dari ungkapan, “Dia menunjukkan wujud nama-Nya lewat keberadaan makhluk-Nya…”
Seorang majdzub, selama masih mengalami jadzab, tak layak untuk mendapat gelar “syekh” karena ia belum melewati berbagai maqam dan belum mengetahui berbagai petaka jiwa. Selain itu, ia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga melupakan kondisi lainnya.
Demikian pula seorang salik, jika ia belum mencapai taraf musyahadah dan tajalli, ia tidak layak mendapat gelar “syekh” karena ia belum sempurna. Yang layak mendapat gelar “syekh” hanyalah orang yang telah berhasil menghimpun keduanya, baik perjalanan suluk-nya lebih dahulu dari jadzab-nya maupun sebaliknya.
Terkadang seorang majdzub melewati berbagai maqam dengan cepat dan ia juga mengetahui barbagai petaka jiwa sehingga ia layak menjadi syekh meski harus tetap dengan kondisi jadzab-nya. Namun, ini terjadi pada beberapa orang majdzub saja, seperti sosok Sayyid Ahmad al-Badawi, bukan terjadi pada setiap majdzub.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar