“Ketika kau sedih lantaran tidak
disambut oleh manusia atau dicela mereka, kembalilah pada pengetahuan Allah
tentang dirimu. Jika pengetahuan-Nya tidak juga membuatmu puas, deritamu
lantaran tidak puas dengan pengetahuan-Nya jauh lebih menyakitkan daripada
derita kerena disakiti manusia.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Ketika manusia menyakitimu dengan tidak menyambutmu
dan malah mencelamu, kembalilah kepada ilmu Allah tentang dirimu. Cukup Allah
saja yang mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya. Jangan pedulikan yang
orang-orang ketahui tentang dirimu. Jika kau telah melakukan semua amalmu
dengan tulus di hadapan Allah dan bahkan semua amalmu itu telah diterima-Nya,
mengapa harus tertekan dengan celaan manusia yang tidak mengetahui apa-apa tentang
siapa dirimu sebenarnya? Jika kau dihina dan dibenci Allah karena kau beramal
tidak ikhlas, apa untungnya sambutan, keridaan, dan pujian manusia untukmu?
Jika pengetahuan Allah tentang siapa dirimu yang
sebenarnya tidak juga membuatmu puas, misalnya kau ingin juga manusia
mengetahui siapa sebenarnya dirimu, bagaimana amalmu, dan seberapa hebat
keikhlasanmu agar manusia menyambut dan mengagungkanmu, kau akan menderita.
Kenapa? Karena kau tidak pernah puas dengan pengetahuan-Nya tentangmu. Bahkan,
derita itu jauh lebih berat daripada deritamu ketika disakiti manusia. Celaan
dan penolakan manusia memang merupakan sesuatu yang menyakitkan, namun di sisi
lain, hal itu terkadang justru bisa membuatmu kembali kepada Allah swt.
Secara lahir, celaan mereka terhadapmu adalah musibah
bagimu, namun secara batin, itu adalah nikmat. Oleh karena itu, tak patut bagi
seorang murid untuk memedulikan
selain Allah swt. Janganlah kau merasa berbahagia bila kau tidak merasakan
kedekatan-Nya denganmu dan kau tidak boleh merasakan kesedihan, kecuali
kesedihan karena jauhnya Dia darimu. Kau tidak boleh mencari perhatian makhluk.
Kau tidak layak memedulikan penyambutan, pengabaian, celaan, atau pujian mereka
karena mereka tidak pernah bisa mencukupi kebutuhanmu sedikitpun.
Siapa yang merasa tertekan dengan penolakan atau
celaan manusia, hendaknya ia kembali kepada Tuhannya. Cukup baginya apa yang
Allah ketahui tentang dirinya. Ia tidak boleh menyertakan pengetahuan Allah
tentang dirinya itu dengan pengetahuan manusia dengan tujuan agar mereka memuji
dan mengagungkannya.
Ibrahim at-Taimi berkata kepada salah seorang
temannya, “Apa yang dikatan orang-orang tentangku?” Temannya menjawab, “Kata
mereka, kau riya’ dalam amalmu.”
Ibrahim berkata, “Sekarang amalku semakin baik.” Temannya menjawab, “Bagus,
cukup Allah saja yang mengetahui siapa dirimu sebenarnya.” Setelah itu, Ibrahim
pun hanya mencukupkan diri dan puas dengan apa yang Allak ketahui tentang
dirinya. Ia tidak pernah memedulikan apa yang diketahui dan dikatakan manusia
tentang dirinya.
Basyar al-Hafi berkata, “Menerima pujian dari manusia
lebih berat rasanya bagi hati daripada melakukan maksiat.”
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar