Rabu, 25 November 2015

Alhikam 87 (Buku Kedua)

“Orang mukmin disibukkan dengan memuji Allah sehingga lupa menyanjung diri sendiri. Ia juga disibukkan dengan menunaikan kewajiban kepada Allah sehingga tidak ingat kepada kepentingan dirinya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Mukmin yang sempurna adalah mukmin yang selalu disibukkan oleh puji-pujian terhadap sifat-sifat Allah sehingga ia tidak bangga dengan sifat-sifat baik dirinya. Jika dia berkata, “Saya sudah shalat atau puasa,” lalu menisbatkan semua amal terpuji itu kepada dirinya, berarti ia belum menjadi mukmin sesungguhnya karena sebenarnya, kedua amal itu adalah perbuatan Allah. Sementara itu, manusia hanyalah media penampakannya. Oleh karena itu, tak ada gunanya memuji manusia yang kemampuannya hanya menampakkan perbuatan Allah. Seharusnya, ia memuji pelaku sesungguhnya, yaitu Tuhan Yang Maha Memberi dan Menganugerahi.
Mukmin yang sejati tidak akan menisbatkan perbuatan baik dan ahwal-nya kepada dirinya sendiri dan tidak pernah memandang dirinya atau mengagungkannya. Mukmin sejati adalah mukmin yang merasa hampa dari semua perbuatan dan ahwal tersebut karena menisbatkan kepada pelaku yang sesungguhnya dan sumber utamanya, yaitu Allah swt.
Mukmin sejati juga lebih disibukkan oleh menunaikan hak-hak Allah daripada menunaikan hak-hak dirinya. Bahkan, ia tidak pernah mengingat keuntungan pribadinya sama sekali. Ia menyembah Allah karena dzat-Nya, bukan karena mengharap surga-Nya atau ingin selamat dari neraka-Nya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar