“Bisa jadi, kata-kata itu keluar
karena ungkapan perasaan. Bisa jadi pula karena ingin memberi petunjuk kepada
murid. Kondisi pertama adalah kondisi salik, sedangkan kondisi kedua adalah
kondisi mereka yang sudah mencapai hakikat.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Ungkapan para peniti jalan Allah tentang ilmu dan
makrifat yang mereka temukan dalam batin mereka bisa jadi keluar karena luapan
perasaan yang mereka alami di dalam hati. Mungkin, hati mereka sempit sehingga
tanpa mereka sadari, dari sana mengalir dengan deras apa yang bersemayam di
dalamnya. Persis seperti sebuah bejana kecil yang dipenuhi air, tentu air itu
akan tumpah ruah keluar. Bisa jadi juga, ungkapan itu keluar karena mereka
ingin memberikan petunjuk kepada para murid.
Walaupun hati mereka luas, mungkin mereka akan menahan isinya sehinggaa tak
satupun yang keluar dari hati itu.
Kondisi pertama adalah kondisi yang dialami seorang salik atau orang yang baru mulai meniti
jalan menuju Allah. di sini mereka tidak diberi izin untuk mengungkapkan isi
hatinya karena mereka dikuasai luapan perasaan. Sementara itu, yang kedua
adalah kondisi para muhaqqiq atau
orang yang sudah sampai kepada Allah. Mereka diberi izin untuk mengungkapkannya
karena ungkapan mereka mengandung bimbingan dan hidayah bagi orang lain.
Jika seorang salik
mengungkapkan isi hatinya tanpa dikuasai perasaan, ungkapannya itu sama saja
dengan sebentuk pengakuan. Jika seorang muhaqqiq
mengungkapkannya tanpa niat memberi hidayah kepada murid, tindakannya itu sama dengan menyebarkan rahasia terlarang.
Seorang muhaqqiq harus bersikap diam
tak banyak bicara karena ia sedang berada di hadirat Allah, menerima yang
datang ke dalam hatinya, berupa keajaiban ilmu dan pemahaman.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar