Sabtu, 28 November 2015

Alhikam 98 (Buku Kedua)

“Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal, padahal Allah yang menyedekahkan amal itu kepadamu? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yang menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Bagaimana kau meminta pahala atas amal yang telah Allah sedekahkan untukmu? Tentu sikap ini tidak layak bagimu karena manusia tidak meminta imbalan dari orang lain, kecuali ia mengerjakan satu pekerjaan yang manfaatnya kembali kepada orang itu. Di sini sifat tersebut tidak ada karena manfaat amal itu hanya kembali kepada dirimu, bukan kepada Allah swt. Dia sama sekali tidak membutuhkan dirimu dan amalmu.
Selain diberikan atas dasar amal, pahala juga diberikan berdasarkan ketulusan dan keikhlasan di dalam amal itu. Dalam beramal pun, kau tidak layak meminta balasan atas ketulusanmu karena ketulusan itu adalah hadiah Allah untukmu. Oleh sebab itu, Ibnu Atha’illah berkata, “Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yang menghadiahkan keikhlasan itu kepadamu?”
Di sini Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “sedekah dan hadiah” sebagai pengingat atas hal yang disebutkan, yaitu bahwa amal dan ikhlas di dalamnya tak lain manfaatnya untuk dirimu sendiri. Oleh sebab itu, tak patut dan amat buruk bagimu jika meminta imbalan atau pahala atas amal itu. Maka dari itu, ungkapan hikmah di atas menggunakan lafal pertanyaan “bagaimana” yang menunjukkan pertanyaan, tetapi berkonotasi cibiran.
Dalam hikmah di atas, untuk mengungkapkan amal lahir, Ibnu Atha’illah menggunakan lafal “menyedekahkan”, sedangkan untuk mengungkapkan keikhlasan yang merupakan amal batin dan poros diterimanya amal lahir, beliau menggunakan lafal “menghadiahkan”. Hal itu dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan antara keduanya (amal dan keikhlasan) dalam hal kemuliaan, seperti perbedaan antara sedekah dan hadiah. Sedekah diberikan kepada kaum fakir, sedangkan hadiah diberikan kepada orang-orang kaya sehingga hadiah lebih menunjukkan kehormatan orang yang diberi hadiah itu.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar