“Bisa jadi, yang menjelasakan
perihal maqam adalah orang yang belum sampai ke sana. Bisa jadi pula, yang
menjelaskannya adalah orang yang telah sampai ke sana. Semuanya samar, kecuali
bagi orang yang memiliki mata hati.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Bisa jadi, orang yang menjelaskan perihal maqam, seperti maqam zuhud, maqam wara’,
dan maqam tawakkal adalah orang yang
belum sampai ke maqam tersebut, bisa
jadi pula orang yang memang sudah sampai. Kedua kondisi itu amat sulit
dibedakan, kecuali oleh orang yang memiliki mata hati karena ia mampu melihat
gambaran batin seseorang.
Orang yang belum mencapai maqam biasanya senang membicarakan maqam. Ia menganggapnya sebagai
sesuatu yang luar biasa. Ia juga merasa dirinya hebat karena sebentar lagi akan
sampai ke sana. Lain halnya dengan orang yang sudah mencapai maqam. Ia membicarakan maqam-nya dengan biasa-biasa saja,
seperti berbicara tentang hal lain.
Mungkin juga, orang yang menjelaskan perihal maqam ini adalah orang yang menukilnya
dari sebuah kitab sembari menjaga ahwal-nya
dari kebiasaan bicara orang-orang sehingga tak heran jika akhirnya ia dianggap
sebagai orang yang sudah mendapatkan maqam itu. Untuk mengenali orang seperti
ini, kita harus menerapakan kaidah-kaidah ilmu. Jika ia selalu banyak menjawab,
cenderung fanatik dan egois, berarti ia
hanya seorang pendusta yang mengaku-ngaku telah mendapatkan sebuah maqam.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar