“Di saat tajalli (penampaknan
Tuhan), hakikat-hakikat datang secara global. Setelah selesai, barulah terdapat
penjelasan. ‘Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya.
Kemudian, Kami yang akan menjelaskannya.’”(QS.al-Qiyamah[75]: 18-19)
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Berbagai hakikat atau ilmu laduni yang dimasukkan
Allah swt. ke dalam batin orang-orang ‘arif
saat mereka terbebas dari perbudakan makhluk dan mata batin mereka mendapat
hembusan kebenaran akan datang saat Allah swt. menampakkan diri-Nya dalam hati
mereka. Tajalli Tuhan secara global
maksudnya adalah, belum ada penjelasan tentang makna dan arah tajalli tersebut karena kebesaran tajalli-Nya dalam hati mereka. Setelah
mereka sadar dan setelah tajalli
Allah itu usai, barulah datang penjelasan sehingga akal mereka mengetahui makna
tajalli itu dengan mengkaji dan
memerhatikannya. Dengan demikian, tampaklah bagi mereka bahwa tajalli Allah swt. itu benar-benar
sesuai dengan ilmu-ilmu aqli dan naqli yang mereka miliki.
Bahkan mungkin, sebagian dari mereka ada yang banyak
membicarakannya tanpa peduli. Jika ia selesai mengingat dan mengamatinya,
barulah ia mendapatinya benar. Seperti yang terjadi pada al-Hallaj, ia pernah
mengucap, “Di jubah ini hanya ada Allah.” Ia mengatakan kalimat ini karena
kebesaran tajalli Allah swt. pada
dirinya.
Jika tajalli
itu hilang darinya dan ia telah sadar kembali, ia akan mendapati bahwa maknanya
benar. Makna tajalli yang benar itu
ialah, tak ada yang berdiri tegak pada segala sesuatu, kecuali Allah swt.
Inilah yang sesuai syariat.
Contoh tentang hal ini adalah ucapan seseorang, “Aku
adalah lauh” atau “Aku adalah qalam” Kalimat itu terucap karena
keagungan tajalli Allah swt. terjadi
pada dirinya dan ia tak sadarkan diri. Ia merasa bahwa dirinya adalah inti dari
kedua itu (lauh dan qalam). Jika tajalli itu usai dan ia kembali sadar, ia akan mendapati maknanya
benar, yaitu bahwa yang ber-tajalli
pada dirinya adalah Allah swt. dan rahasia-Nya terjadi pada lauh dan qalam.
Menanggapi hal ini, Ibnu Atha’illah mengisyaratkan
masalah yang cukup popular di kalangan mereka, yaitu tentang kesesuaian hakikat
dengan syariat. Mereka berkata, “Hakikat tanpa syariat batil dan syariat tanpa
hakikat akan terhenti.” Kemudian, ia mendasari hal itu dengan firman-Nya, “Bila Kami telah selesai membacakannya,
ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kamilah yang akan menjelaskannya.”
(QS.al-Qiyamah[75]: 18-19). Maksudnya, Kami membacakannya melalui lisan Jibril
maka dengarkanlah bacaannya, lalu ikuti bacaan itu. Selanjutnya, Kami yang
berkewajiban menjelaskan makna-maknanya kepadamu.
Di sini, Ibnu Atha’illah menganggap penjelasan
makna-makna setelah membaca ayat-ayat-Nya itu sama halnya dengan tajalli Ilahi yang penjelasan maknanya
terjadi setelah orang yang mengalaminya tersadar kembali.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar