Selasa, 17 November 2015

Alhikam 60 (Buku Kedua)

“Di saat tajalli (penampaknan Tuhan), hakikat-hakikat datang secara global. Setelah selesai, barulah terdapat penjelasan. ‘Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kami yang akan menjelaskannya.’”(QS.al-Qiyamah[75]: 18-19)
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Berbagai hakikat atau ilmu laduni yang dimasukkan Allah swt. ke dalam batin orang-orang ‘arif saat mereka terbebas dari perbudakan makhluk dan mata batin mereka mendapat hembusan kebenaran akan datang saat Allah swt. menampakkan diri-Nya dalam hati mereka. Tajalli Tuhan secara global maksudnya adalah, belum ada penjelasan tentang makna dan arah tajalli tersebut karena kebesaran tajalli-Nya dalam hati mereka. Setelah mereka sadar dan setelah tajalli Allah itu usai, barulah datang penjelasan sehingga akal mereka mengetahui makna tajalli itu dengan mengkaji dan memerhatikannya. Dengan demikian, tampaklah bagi mereka bahwa tajalli Allah swt. itu benar-benar sesuai dengan ilmu-ilmu aqli dan naqli yang mereka miliki.
Bahkan mungkin, sebagian dari mereka ada yang banyak membicarakannya tanpa peduli. Jika ia selesai mengingat dan mengamatinya, barulah ia mendapatinya benar. Seperti yang terjadi pada al-Hallaj, ia pernah mengucap, “Di jubah ini hanya ada Allah.” Ia mengatakan kalimat ini karena kebesaran tajalli Allah swt. pada dirinya.
Jika tajalli itu hilang darinya dan ia telah sadar kembali, ia akan mendapati bahwa maknanya benar. Makna tajalli yang benar itu ialah, tak ada yang berdiri tegak pada segala sesuatu, kecuali Allah swt. Inilah yang sesuai syariat.
Contoh tentang hal ini adalah ucapan seseorang, “Aku adalah lauh” atau “Aku adalah qalam” Kalimat itu terucap karena keagungan tajalli Allah swt. terjadi pada dirinya dan ia tak sadarkan diri. Ia merasa bahwa dirinya adalah inti dari kedua itu (lauh dan qalam). Jika tajalli itu usai dan ia kembali sadar, ia akan mendapati maknanya benar, yaitu bahwa yang ber-tajalli pada dirinya adalah Allah swt. dan rahasia-Nya terjadi pada lauh dan qalam.
Menanggapi hal ini, Ibnu Atha’illah mengisyaratkan masalah yang cukup popular di kalangan mereka, yaitu tentang kesesuaian hakikat dengan syariat. Mereka berkata, “Hakikat tanpa syariat batil dan syariat tanpa hakikat akan terhenti.” Kemudian, ia mendasari hal itu dengan firman-Nya, “Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kamilah yang akan menjelaskannya.” (QS.al-Qiyamah[75]: 18-19). Maksudnya, Kami membacakannya melalui lisan Jibril maka dengarkanlah bacaannya, lalu ikuti bacaan itu. Selanjutnya, Kami yang berkewajiban menjelaskan makna-maknanya kepadamu.
Di sini, Ibnu Atha’illah menganggap penjelasan makna-makna setelah membaca ayat-ayat-Nya itu sama halnya dengan tajalli Ilahi yang penjelasan maknanya terjadi setelah orang yang mengalaminya tersadar kembali.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar