Rabu, 25 November 2015

Alhikam 85 (Buku Kedua)

“Tawadhu’ yang sebenarnya bersumber dari syuhud (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Sikap rendah hati sesungguhnya adalah sikap yang timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah serta tajalli (penampakan) sifat-Nya. Keagungan Allah yang tampak di mata seorang hamba itu yang menuntutnya untuk selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.
Allah swt. tidak menampakkan diri pada sesuatu, kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.
Ada pula sikap tawadhu’ yang tidak hakiki, yaitu yang bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah serta serba kekurangan. Tawadhu’ ini bukan rendah hati yang sesungguhnya kerena terkadang masih tercemari oleh sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, al-Junaidi berkata, “Tawadhu’ menurut ahli tauhid bukanlah takabur.”
Al-Ghazali mengomentari ucapan al-Junaidi ini dengan berkata, “Mungkin maksudnya, seorang yang bersikap rendah hati itu biasanya menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya. Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan bernilai sama sekali sehingga ia tidak perlu merendahkannya lagi.”
Orang yang rendah hati akan merasa diri dan perasaannya fana setelah melihat kebesaran Allah. Dalam ‘Awarif al-Ma’arif disebutkan, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat tawadhu’, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah di hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah kejernihannya yang bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub.”


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar