“Tawadhu’ yang sebenarnya bersumber
dari syuhud (menyaksikan keagungan-Nya) dan penampakan sifat-Nya.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Sikap rendah hati sesungguhnya adalah sikap yang
timbul setelah menyaksikan keagungan dan kebesaran Allah serta tajalli (penampakan) sifat-Nya.
Keagungan Allah yang tampak di mata seorang hamba itu yang menuntutnya untuk
selalu merendahkan diri karena bisa memadamkan gelora nafsu dan
menyingkirkannya serta menggugurkan harapannya.
Allah swt. tidak menampakkan diri pada sesuatu,
kecuali membuat sesuatu itu tunduk dan merendah kepada-Nya sehingga pohon
kesombongan dan watak suka kekuasaannya akan patah dengannya.
Ada pula sikap tawadhu’
yang tidak hakiki, yaitu yang bersumber dari pandangan bahwa diri ini lemah
serta serba kekurangan. Tawadhu’ ini
bukan rendah hati yang sesungguhnya kerena terkadang masih tercemari oleh
sekeping kesombongan atau sikap ujub. Oleh sebab itu, al-Junaidi berkata, “Tawadhu’ menurut ahli tauhid bukanlah
takabur.”
Al-Ghazali mengomentari ucapan al-Junaidi ini dengan
berkata, “Mungkin maksudnya, seorang yang bersikap rendah hati itu biasanya
menganggap dirinya tinggi terlebih dahulu, baru kemudian merendahkannya.
Berbeda dengan ahli tauhid, sejak awal ia tak menganggap dirinya tinggi dan
bernilai sama sekali sehingga ia tidak perlu merendahkannya lagi.”
Orang yang rendah hati akan merasa diri dan
perasaannya fana setelah melihat kebesaran Allah. Dalam ‘Awarif al-Ma’arif disebutkan, “Seorang hamba tidak akan mencapai
hakikat tawadhu’, kecuali saat
terpancarnya cahaya musyahadah di
hatinya. Saat itu, jiwanya akan melebur. Saat melebur, akan tampaklah
kejernihannya yang bebas dari kotoran sikap sombong dan ujub.”
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar