Selasa, 03 November 2015

Alhikam 40 (Buku Kedua)

“Allah swt. mengetahui kurangnya semangat hamba dalam beribadah. Oleh karena itu, Dia menggiring mereka untuk menunaikan sejumlah ketaatan dengan rantai kewajiban. Dan, Tuhan kagum melihat kaum yang digiring ke surga dengan rantai tersebut.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Allah swt mengetahui kurangnya semangat para hamba untuk beribadah, bermuamalah dengan-Nya, mendatangi-Nya dengan ketaatan, dan melaksanakan hak-hak rububiyah-Nya dengan penuh sukarela. Oleh sebab itu, Allah swt. mewajibkan mereka melaksanakan sejumlah ketaatan dengan paksa dan mengancam mereka dengan neraka jika tidak melaksanakannya. Allah  swt. menyeret mereka agar melakukan ketaatan kepada-Nya dengan rantai kewajiban.
Kewajiban diumpamakan rantai yang dilingkarkan di leher para tawanan untuk menyeret mereka dengan paksa. Dengan rantai kewajiban itu, Allah swt. memaksa para hamba melaksanakan ketaatan yang akan membuahkan kebahagiaan bagi mereka di masa depan walaupun di masa sekarang terasa berat. Allah swt melakukan ini terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana seorang bapak melakukannya terhadap anaknya. Tidakkah kau lihat bagaiman seorang bapak mendidik dan memaksa anaknya untuk mengikuti sifat-sifat  dan tabiatnya walaupun terasa berat bagi sang anak. Meski terpaksa, anak itupun akan melakukannya. Hal itu tak lain agar sang anak mendapatkan manfaat di masa depan yang tidak diketahuinya di masa sekarang. Kelak saat ia beranjak dewasa dan akalnya telah matang, ia akan merasakan manfaat itu dan menyadari kebenaran perlakuan sang bapak.
Tuhan kagum kepada suatu kaum yang digiring ke surga dengan rantai kewajiban, sebagaiman yang dilakukan kaum muslim terhadap para tawanan kafir saat mereka diharapkan masuk Islam. Kaum itu digiring ke surga dengan rantai di leher mereka. Ini adalah makna hadis Rasulullah tentang tawanan perang badar yang lafalnya, “Allah kagum dengan kaum-kaum yang digiring ke surga dengan rantai.
Kagum bermakna menganggap besar perkara yang kecil. Kagum adalah sifat yang mustahil bagi Allah swt. Tentang lafal ini, ada dua pendapat. Salah satunya berpendapat bahwa Allah swt. memiliki kekaguman yang tidak diketahui hakikatnya dan Dia terbebas dari maksud lafal “kagum” yang kita kenal.
Mazhab ulama Khalaf menakwilkan hal itu berbeda dengan berkata, “Makna ‘kagum’ atau ‘takjub’ yang dinisbatkan kepada Allah swt. adalah, Allah swt. menampakkan keajaiban sebuah perkara kepada makhluk-Nya karen Allah swt. Maha Mencipta segala sesuatu.” Allah swt. kagum kepada suatu kaum yang diseret ke surga tak lain karena saat semua orang ingin segera menyongsong surga dan keindahannya, mereka malah menolak untuk masuk ke sana sampai harus diseret, seakan mereka diseret ke dalam sesuatu yang tidak mereka sukai.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud “kagum” di sini adalah konsekuensi kagum,  yaitu berbuat baik kepada yang dikagumi. Misalnya, jika kau katakana, “Betapa Zaid seorang yang alim,” konsekuensinya kau tentu ingin berbuat baik kepada Zaid dan menghormatinya.
Jadi, maknanya Allah swt. ingin berbuat baik kepada kaum itu dengan mengundang mereka masuk surga dan menyeret mereka dengan paksa. Ini berlaku bagi orang-orang awam. Orang awam harus diseret dengan rantai kewajiban agar mereka melakukan ketaatan.
Bagi orang-orang khusus, mereka tidak membutuhkan paksaan, ancaman, atau peringatan karena Allah swt. telah melapangkan dada mereka, menerangi mata hati mereka, dan mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka sehingga mereka lebih mencintai ketaatan dan membenci maksiat. Maka dari itu, mereka tidak membutuhkan sedikitpun paksaan karena mereka bebas total dari kebendaan dan kemakhlukan yang menguasai hati. Mereka selalu taat dengan penuh suka rela, bahkan jika mereka dipaksa untuk meninggalkan ketaatan itu, mereka tidak akan tahan dan tidak akan bersabar. Andai ada taklif (pembebanan hukum) bagi mereka, fungsinya saat itu tak lain untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada yang memberi beban hukum. Sebagaimana para raja yang memerintah menteri-menterinya agar melayaninya, tak lain untuk menambah kedekatan dan penghormatan kepada rajanya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar