“Allah swt. mengetahui kurangnya
semangat hamba dalam beribadah. Oleh karena itu, Dia menggiring mereka untuk
menunaikan sejumlah ketaatan dengan rantai kewajiban. Dan, Tuhan kagum melihat
kaum yang digiring ke surga dengan rantai tersebut.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Allah swt mengetahui kurangnya semangat para hamba
untuk beribadah, bermuamalah dengan-Nya, mendatangi-Nya dengan ketaatan, dan
melaksanakan hak-hak rububiyah-Nya
dengan penuh sukarela. Oleh sebab itu, Allah swt. mewajibkan mereka
melaksanakan sejumlah ketaatan dengan paksa dan mengancam mereka dengan neraka
jika tidak melaksanakannya. Allah swt.
menyeret mereka agar melakukan ketaatan kepada-Nya dengan rantai kewajiban.
Kewajiban diumpamakan rantai yang dilingkarkan di
leher para tawanan untuk menyeret mereka dengan paksa. Dengan rantai kewajiban
itu, Allah swt. memaksa para hamba melaksanakan ketaatan yang akan membuahkan
kebahagiaan bagi mereka di masa depan walaupun di masa sekarang terasa berat.
Allah swt melakukan ini terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana seorang bapak
melakukannya terhadap anaknya. Tidakkah kau lihat bagaiman seorang bapak
mendidik dan memaksa anaknya untuk mengikuti sifat-sifat dan tabiatnya walaupun terasa berat bagi sang
anak. Meski terpaksa, anak itupun akan melakukannya. Hal itu tak lain agar sang
anak mendapatkan manfaat di masa depan yang tidak diketahuinya di masa
sekarang. Kelak saat ia beranjak dewasa dan akalnya telah matang, ia akan
merasakan manfaat itu dan menyadari kebenaran perlakuan sang bapak.
Tuhan kagum kepada suatu kaum yang digiring ke surga
dengan rantai kewajiban, sebagaiman yang dilakukan kaum muslim terhadap para
tawanan kafir saat mereka diharapkan masuk Islam. Kaum itu digiring ke surga
dengan rantai di leher mereka. Ini adalah makna hadis Rasulullah tentang
tawanan perang badar yang lafalnya, “Allah
kagum dengan kaum-kaum yang digiring ke surga dengan rantai.”
Kagum bermakna menganggap besar perkara yang kecil.
Kagum adalah sifat yang mustahil bagi Allah swt. Tentang lafal ini, ada dua
pendapat. Salah satunya berpendapat bahwa Allah swt. memiliki kekaguman yang
tidak diketahui hakikatnya dan Dia terbebas dari maksud lafal “kagum” yang kita
kenal.
Mazhab ulama Khalaf
menakwilkan hal itu berbeda dengan berkata, “Makna ‘kagum’ atau ‘takjub’ yang
dinisbatkan kepada Allah swt. adalah, Allah swt. menampakkan keajaiban sebuah
perkara kepada makhluk-Nya karen Allah swt. Maha Mencipta segala sesuatu.”
Allah swt. kagum kepada suatu kaum yang diseret ke surga tak lain karena saat
semua orang ingin segera menyongsong surga dan keindahannya, mereka malah
menolak untuk masuk ke sana sampai harus diseret, seakan mereka diseret ke
dalam sesuatu yang tidak mereka sukai.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud
“kagum” di sini adalah konsekuensi kagum,
yaitu berbuat baik kepada yang dikagumi. Misalnya, jika kau katakana,
“Betapa Zaid seorang yang alim,” konsekuensinya kau tentu ingin berbuat baik
kepada Zaid dan menghormatinya.
Jadi, maknanya Allah swt. ingin berbuat baik kepada
kaum itu dengan mengundang mereka masuk surga dan menyeret mereka dengan paksa.
Ini berlaku bagi orang-orang awam. Orang awam harus diseret dengan rantai
kewajiban agar mereka melakukan ketaatan.
Bagi orang-orang khusus, mereka tidak membutuhkan
paksaan, ancaman, atau peringatan karena Allah swt. telah melapangkan dada
mereka, menerangi mata hati mereka, dan mengukuhkan keimanan di dalam hati
mereka sehingga mereka lebih mencintai ketaatan dan membenci maksiat. Maka dari
itu, mereka tidak membutuhkan sedikitpun paksaan karena mereka bebas total dari
kebendaan dan kemakhlukan yang menguasai hati. Mereka selalu taat dengan penuh
suka rela, bahkan jika mereka dipaksa untuk meninggalkan ketaatan itu, mereka
tidak akan tahan dan tidak akan bersabar. Andai ada taklif (pembebanan hukum) bagi mereka, fungsinya saat itu tak lain
untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada yang memberi beban hukum. Sebagaimana
para raja yang memerintah menteri-menterinya agar melayaninya, tak lain untuk
menambah kedekatan dan penghormatan kepada rajanya.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar