“Jika bukan karena medan nafsu,
tentu tak akan ada perjalanan orang-orang yang menuju Allah karena tak ada
jarak antara dirimu dan diri-Nya yang harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan
antara kau dan Allah yang harus diselesaikan.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Sekiranya tidak ada syahwat dan keinginan nafsu,
niscaya perjalanan para salik menuju
Allah tidak akan pernah ada karena Allah lebih dekat kepada seseorang daripada
dirinya sendiri. Jadi, tak ada yang perlu ditempuh para salik untuk menuju Allah
karena Allah swt. telah berfirman, “Dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS.Qaf[50]: 16)
Jauhnya jarak yang perlu ditempuh menuju yang dicintai
telah terbentang di hadapanmu, wahai hamba. Ketahuilah bahwa jarak itu adalah
syahwatmu sendiri. Jika syahwat ini tidak ada, kau tidak perlu berjalan jauh
atau menempuh jalan menuju Allah karena jarak tersebut tidak ada, sebagaimana
diisyaratkan Ibnu Atha’illah dalam hikmahnya, “Karena tak ada jarak antara
dirimu dan diri-Nya yang harus kau tempuh, juga tak ada permusuhan antara kau
dan Allah yang harus diselesaikan.”
Permusuhan antara dirimu dengan Allah yang harus kau
selesaikan juga tidak ada. Permusuhan tidak terjadi, kecuali pada dua hal yang
saling berlawanan. Sementara di sini, kau membutuhkan cinta dan hubungan
dengan-Nya. Memangnya siapa dirimu sampai berani memusuhi Allah?
Kesimpulannya, saat syahwatmu hilang, kau tidak perlu
lagi menempuh perjalanan panjang menuju Allah. Perjalanan ke sana bermakna
memutus halangan dan rintangan jiwa, menghapus pengaruhnya, serta menyingkirkan
watak dan kebiasaan buruknya agar ia bersih dari itu semua, layak dekat
dengan-Nya, dan meraih kebahagiaan pertemuan dengan-Nya. Sekiranya tanpa
perjuangan dan penderitaan seperti ini, perjalanan menuju Allah tidak pernah
ada karena Allah swt. lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri. Jarak yang
harus kau tempuh itu adalah syahwatmu sendiri yang menjadi penghalang dan harus
kau singkirkan. Syahwatmu menjadi hijab terbesar yang menghalangimu dari Allah.
Dengan mengekang dan mematikannya, kau akan sampai kepada Allah.
Abu Madyan berkata, “Siapa yang nafsunya belum mati,
ia tidak akan melihat Yang Maha Haq.”
Abu al-Abbas al-Mursi berkata, “Tidak ada pintu masuk
untuk menemui Allah, kecuali dua: pintu kefanaan yang besar, yakni kematian,
dan pintu kefanaan diri dengan mengekang nafsu.”
Hatim al-Ashamm berkata, “Siapa yang ikut cara kami
ini, hendaknya ia menyimpan pada dirinya empat warna kematian. Pertama, kematian merah, yaitu menentang
hawa nafsu. Kedua, kematian hitam,
yaitu tegar menerima penganiayaan manusia. Ketiga,
kematian putih, yaitu menahan rasa lapar. Keempat,
kematian hijau, yaitu menepis kebodohan dan sifat tak tahu malu.”
Ketika menempuh jalan menuju Tuhan, seorang murid harus ditemani seorang syekh dan mursyid yang sudah berhasil melembutkan
jiwa dan menaklukkan hawa nafsunya. Ia harus taat dan patuh kepadanya dalam
setiap hal yang dinasihatinya, tanpa bertanya, ragu, atau gamang. Orang-orang
berkata, “Siapa yang tidak memiliki syekh (guru), setan adalah syekhnya.”
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar