Selasa, 17 November 2015

Alhikam 53 (Buku Kedua)

“Berbagai kewajiban yang dikerjakan pada sejumlah waktu dapat diganti. Namun, kewajiban terhadap sejumlah waktu (keadaan) tidak dapat diganti. Pasalnya, tidaklah satu waktu tiba, kecuali membawa kewajiban baru dan perintah penting dari Allah yang harus kau tunaikan. Bagaimana mungkin kau menunaikan hak yang lain, sedangkan di dalamnya hak Allah tidak kau tunaikan?”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Kewajiban-kewajiban pada waktu tertentu, berupa shalat, puasa, dsb, bisa diganti di lain waktu apabila waktu yang telah ditetapkan untuknya terlewatkan. Akan tetapi, kewajiban terhadap waktu ialah ahwal yang didapat seorang hamba dari Tuhannya. Waktu seorang hamba adalah ahwal yang dialaminya. Ada empat waktu yang biasa dialami hamba, yaitu nikmat, ujian (petaka), ketaatan, dan maksiat. Semuanya disebut “waktu” karena ia datang pada waktu-waktu tertentu; hak-hak waktu yang wajib kau tunaikan adalah sikap-sikap batin yang dibutuhkan oleh ahwal tersebut.
Bila waktu itu berupa kenikmatan, haknya atau kewajiban yang harus kau tunaikan untuknya adalah kau harus memuji Allah swt. dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu. Bila berupa ujian, kau harus bersabar dan ridha. Jika berupa ketaatan, kau harus tetap melihat karunia-Nya. Namun, bila berbentuk maksiat, kau harus beristighfar dan bertobat.
Oleh sebab itu, orang-orang berkata, “Seorang yang miskin selalu menjadi anak waktunya.” Dengan kata lain, ia selalu berlaku sopan terhadap waktunya dan selalu menunaikan haknya, sebagaimana seorang anak yang berlaku sopan terhadap bapaknya.
Hak-hak waktu itu tidak bisa diganti jika terlewatkan karena tak ada waktu atau keadaan lain yang datang, kecuali di dalamnya Allah swt. memiliki kewajiban dan perintah baru atasmu yang harus kau kerjakan. Oleh karena itu, tak ada hal lain bagimu, kecuali kau harus menunaikan hak-hak waktumu agar tak ada kewajiban yang kau lewatkan.
Oleh sebab itu, Ibnu Atha’illah berkata, “bagaimana kau menunaikan hak lain yang telah kau lewatkan, sedangakan kau belum menunaikan hak Allah swt. di dalamnya.” Maksudnya adalah hak yang berhubungan dengan waktu itu. Sekiranya Ibnu Atha’illah berkata, “Sedangkan kau belum menunaikan hak waktu itu?” mungkin akan lebih tepat dan jelas lagi. Saat itu, kau wajib mengawasi hatimu agar ia menjaga hak-hak itu yang tak mungkin digantikan jika terlewatkan. Jangan kau sibukkan waktumu dengan syahwat-syahwat dirimu dan kekerasan jiwa kemanusiaanmu sehingga kau menyia-nyiakan hak-hak Allah swt. yang wajib kau tunaikan dan tak ada gantinya jika terlewatkan.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar