Rabu, 25 November 2015

Alhikam 84 (Buku Kedua)

“Orang Tawadhu’ bukanlah orang yang ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yang diperbuat. Namun, orang yang tawadhu’ ialah orang yang melihat dirinya lebih rendah daripada yang diperbuat.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Orang yang merendah hati bukanlah orang yang saat melakukan sikap tawadhu’, misalnya dengan duduk barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia daripada yang diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di barisan depan majelis. Orang yang tawadhu’ ialah orang yang jika melakukan perbuatan tawadhu’, misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia merasa dirinya lebih rendah daripada yang diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan paling belakang.
Kesimpulannya, seorang yang tawadhu’ adalah orang yang tidak menyatakan bahwa dirinya tawadhu’ karena merasa hina dan tidak memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yang memiliki sifat tawadhu’ sejati adalah orang yang jika melakukan perbuatan-perbuatan tawadhu’, ia tidak menetapkan sikap tawadhu’ bagi dirinya dan tidak mengaku tawadhu’ karena melihat dirinya lebih rendah daripada yang telah dilakukannya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu. Sifat tawadhu’ seperti itulah buah dari syuhud yang diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawdhu’ dan merasa lebih tinggi daripada yang telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu, berarti ia sombong.
Oleh sebab itu, asy-Syibi berkata, “Siapa yang melihat dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yang tawadhu’.”
Di antara tanda seorang bersifat tawadhu’ ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin mendapat tempat di hati mereka.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar