“Orang Tawadhu’ bukanlah orang yang
ketika merendah ia melihat dirinya lebih mulia daripada yang diperbuat. Namun,
orang yang tawadhu’ ialah orang yang melihat dirinya lebih rendah daripada yang
diperbuat.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Orang yang merendah hati bukanlah orang yang saat
melakukan sikap tawadhu’, misalnya
dengan duduk barisan belakang suatu majelis, ia melihat dirinya lebih mulia
daripada yang diperbuatnya atau merasa bahwa sebenarnya ia layak duduk di
barisan depan majelis. Orang yang tawadhu’
ialah orang yang jika melakukan perbuatan tawadhu’,
misalnya dengan duduk di barisan belakang majelis, ia merasa dirinya lebih
rendah daripada yang diperbuatnya dan merasa layak untuk duduk di barisan
paling belakang.
Kesimpulannya, seorang yang tawadhu’ adalah orang yang tidak menyatakan bahwa dirinya tawadhu’ karena merasa hina dan tidak
memiliki kemampuan dan kedudukan. Orang yang memiliki sifat tawadhu’ sejati adalah orang yang jika
melakukan perbuatan-perbuatan tawadhu’,
ia tidak menetapkan sikap tawadhu’
bagi dirinya dan tidak mengaku tawadhu’
karena melihat dirinya lebih rendah daripada yang telah dilakukannya dalam
rangka bersikap tawadhu’ itu. Sifat tawadhu’ seperti itulah buah dari syuhud
yang diraihnya. Jika ia menetapkan dirinya tawdhu’
dan merasa lebih tinggi daripada yang telah diperbuatnya dalam rangka bersikap tawadhu’ itu, berarti ia sombong.
Oleh sebab itu, asy-Syibi berkata, “Siapa yang melihat
dirinya mulia, ia bukan termasuk orang yang tawadhu’.”
Di antara tanda seorang bersifat tawadhu’ ialah, ia tidak marah jika dicela atau diabaikan. Ia juga
tidak benci jika dihina dan dituduh melakukan dosa besar. Ia tidak mau jika di
mata manusia dianggap memiliki kedudukan dan kehormatan. Ia tidak ingin
mendapat tempat di hati mereka.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar