“Amal itu seumpama jasad, sedangkan
keikhlasan adalah ruhnya”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Amal itu ibarat jasad tak bernyawa,
sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan
setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para ‘abid
(ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat riya’ yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat yang didasari
hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah, mengharap pahala-Nya, serta ingin
selamat dari azab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu
pada diri mereka dan menjadikannya sebagai tempat bergantung untuk meraih apa
yang mereka inginkan.
Sementara itu bentuk keikhlasan para
muhibbin (pecinta Allah) tergambar
dalam niat amal mereka yang dituju sebagai wujud pengagungan dan penghormatan
mereka terhadap Allah; yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka
tidak bertujuan mendapat pahala atau takut siksa-Nya.
Oleh sebab itu, Rabi’ah al-Adawiyah
berkata, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu”.
Sementara itu, keikhlasan para ‘arif berbentuk kesaksian dan pandangan
mereka bahwa Allah semata yang menggerakkan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak
merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak
beramal, kecuali dengan bantuan Allah, bukan dengan daya dan kekuatan mereka.
Tingkat keikhlasan para ‘arif ini
merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)