“Janganlah kau meninggalkan zikir
(mengingat Allah) hanya karena ketidakhadiran hatimu di hadapan Allah saat
berzikir! Kelalaianmu dari zikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu di
saat berzikir kepada-Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari zikir yang
disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesadaran; dari zikir yang
disertai kesadaran menuju zikir yang disertai hadirnya hati; dari zikir yang
disertai hadirnya hati menuju zikir yang mengabaikan selain yang diingat
(Allah). “Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar.””
(QS. Ibrahim[14]: 20)
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Biasakan selalu berzikir karena
zikir adalah jalan terdekat menuju Allah dan tanda wujud kekuasaan-Nya. Siapa
yang diberi kesempatan berzikir berarti ia telah diberi sebagian kekuasaan-Nya.
Oleh karena itu, jangan tinggalkan zikir. Jangan kau tinggalkan zikir lantaran
merasa tidak bisa berkonsentrasi saat berzikir akibat terlalu disibukkan dengan
bisikan-bisikan setan dan hal-hal duniawi. Kelalaianmu untuk berzikir
kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu saat berzikir. Karena meninggalkan
zikir sama saja menjauhkan diri dari Allah, baik secara hati maupun lisan.
Berbeda halnya dengan lalai saat berzikir, meski hatimu jauh dari-Nya, lisanmu
tetap dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, kau tetap harus berzikir kepada Allah
walaupun hatimu lalai saat zikir.
Semoga Allah menuntunmu dari zikir
yang disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesaadaran dan konsentrasi;
dari zikir yang disertai kesadaran hati menuju zikir yang mengantarkan hati
masuk ke hadirat Ilahi, sehingga kau merasa melihat-Nya saat berzikir dan tidak
lalai dari-Nya; dari zikir yang disertai kehadiran hati, menuju zikir yang
meniadakan segala hal selain Allah, termasuk zikir itu sendiri sehingga tanpa
disadarinya, ia keluar dari zikirnya. Pada saat itulah, Tuhannya akan menjadi
lisan yang digunakannya untuk berbicara. Saat bergerak pun, tangan Tuhannyalah
yang bergerak. Saat mendengar, Tuhannyalah yang menjadi pendengarannya.
Mungkin, kondisi seperti itu tampak
tidak masuk di akal, tetapi itu benar-benar terjadi. Kondisi seperti itu hanya
bisa diketahui dan dirasakan oleh para salik.
Sekalipun demikian, para ulama sepakat untuk mempercayai dan meyakininya. Oleh
karena itu, jangan sekali-kali mendustakannya sehingga kau akan binasa bersama
orang-orang yang binasa.
Dalam hikmah ini, Ibnu Atha’illah
juga melarang seorang murid untuk
putus asa dan merasa tidak mungkin sampai pada maqam semacam itu. Maka dari itu, iapun menyitir firman Allah, “Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah
sukar.” (QS. Ibrahim [14]: 20) karena
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Seorang murid hanya wajib melaksanakan sebab-sebab, sedangkan hasilnya
menjadi urusan Allah.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)