“Yang diminta seorang ‘arif dari
Allah adalah ketulusan dalam beribadah dan pemenuhan hak-hak Tuhan-Nya.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Yang diminta oleh orang ‘arif ini lebih tinggi daripada yang
diminta oleh orang selainnya, baik itu ahli ibadah, zahid, maupun alim. Hal itu dikarenakan, yang diminta oleh orang ‘arif hanyalah bagaimana bisa tulus
dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memerhatikan etika
penghambaan, berkhlak dengan akhlak hamba dan melaksanakan hak-hak Allah.
Hak-hak Allah itu adalah bersyukur
atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya,
menjadikan penolong orang yang menolong-Nya, bertawakkal kepada-Nya, merasa
diawasi-Nya (muraqabah), berdiri di
hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian
tawadhu’ dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yang butuh, memegang
tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta
sifat-sifat dan akhlak ‘ubudiyah
lainnya.
Siapa yang tulus dalam mengerjakan
itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yang dibebankan Allah
kepadanya. Contoh memenuhi hak-hak Tuhan secara lahir adalah dengan taat secara
lahir, muraqabah secara batin, dan
selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.
Hikmah di atas menjelaskan bahwa
seorang ‘arif hanya meminta dua
perkara, tanpa memerhatikan keuntungan diri. Artinya, orang-orang ‘arif memisahkan antara tujuan dan
keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yang lain tidak pernah
memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan seorang ‘arif lebih tinggi daripada permintaan
selainnya.
Abu Madyan berkata, “Ada perbedaan
antara orang yang tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yang
keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah.”
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)