“Ketergantungan kepada Allah adalah
hakikatmu. Sedangkan munculnya sebab-sebab ketergantungan adalah pengingat akan
hakikatmu yang tak kausadari itu. Dan ketergantungan yang bersifat hakiki itu
takkan mungkin pernah terpenuhi oleh sesuatu yang nisbi.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Jika kau mengerti bahwa kau tidak mungkin ada tanpa
adanya bantuan Allah, berupa nikmat penciptaan dan pemenuhan semua kebutuhanmu,
maka sudah semestinya kau sadar bahwa ketergantungan kepada Allah adalah
hakikat atau substansi dirimu.
Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat diri mereka, terutama ketika mereka sedang
diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya
lupa terhadap hakikat diri mereka tetapi juga lupa terhadap Tuhan mereka. Oleh
karena itu, Allah menurunkan kepada mereka “sebab-sebab ketergantungan kepada
Allah” agar mereka kembali sadar dan ingat. “Sebab-sebab ketergantungan kepada
Allah” itu bisa berupa penyakit, rasa lapar, haus, panas, dingin, dsb.
“Sebab ketergantungan kepada Allah” itu akan membuatmu
sadar dan ingat kembali akan hakikat dirimu, yang sebelumnya tertutup oleh
kesehatan dan kekayaan. Sehingga di saat itu pula kau akan melaksanakan hak-hak ‘ubudiyah
kepada Allah, dan berdo’a kepada-Nya agar memenuhi kebutuhanmu dan menghapus
segala deritamu.
Sebagian orang mengatakan, “Yang membuat Fir’aun
berani mengaku sebagai tuhan adalah karena ia selalu dalam keadaan sehat dan
segar bugar selama empat puluh tahun. Ia tidak pernah sakit, meskipun itu sakit
kepala. Kekayaannya melimpah dan kekuasaannya tak terbatas. Karena itulah ia
merasa seperti tuhan. Senadainya ia sakit sekali saja, atau merasa bosan dengan
kehidupan, niscaya itu akan menghalanginya untuk mengaku diri sebagai tuhan.”
Dan ini pula yang terjadi pada mayoritas manusia.
Kecuali orang-orang yang ‘arif.
Karena mereka selalu menyadari hakikat diri mereka. Dan mereka tidak perlu lagi
diingatkan. “Sebab-sebab ketergantungan” yang Allah timpakan kepada mereka
hanyalah untuk memperlihatkan kesungguhan penghambaan mereka.
Cobaan dan penderitaan hidup justrus semakin membuat
mereka merasa tergantung kepada Allah, semakin membuat mereka taat dan kembali
kepada-Nya. Dan dengan keridaan dan kepasrahan yang mereka perlihatkan itu,
pahala mereka semakin bertambah dan kedudukan mereka di mata Allah pun semakin
mulia.
“Ketergantungan kepada Allah” yang merupakan hakikat
atau substansi manusia ini tidak mungkin bisa dihilangkan oleh sesuatu yang
bersifat sementara atau nisbi. Dengan kata lain, walaupun kau kaya, sehat atau
berkuasa, tetap saja kau tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah.
Kekayaan, kesehatan ataupun kekuasaan adalah relative dan sementara. Bukan
perkara sulit bagi Allah untuk menghilangkan itu semua dari dirimu dan
menggantinya dengan yang sebaliknya, sehingga kau benar-benar merasa betapa
hidup ini tergantung kepada Allah.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar