Minggu, 13 September 2015

Al-Hikam 123

“Ketika kau meminta  balasan atas sebuah amal, sebenarnya kau dituntut untuk tulus di dalamnya. Sudah cukup beruntung bila seorang selamat dari siksa-Nya.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Ketika kau meminta balasan atas shalatmu atau ibadah lainnya, misalnya dengan berharap pahala langsung di dunia dan akhirat, padahal Allah menuntutmu agar ikhlas dan tulus dalam amalmu, Allah akan menyatakan kepadamu bahwa kau belum tulus dalam amalmu untuk-Nya. Kau hanya beramal untuk kepentingan dan keuntungan dirimu.
Ketulusan dan keikhlasan adalah kesesuaian batin dengan lahir. Sifat inilah yang tidak ada pada diri seorang ‘amil (orang yang beramal). Secara lahir, ia memang beramal untuk Allah dan ingin melaksanakan hak-hak ketuhanan-Nya. Namun, di dalam batinnya, ia beramal untuk keuntungan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sangat beruntunglah dia bila Allah membebaskannya dari siksa.
Lebih beruntung lagi bila orang yang kurang sempurna dalam amalnya itu diberi pahala oleh Tuhannya, secara langsung maupun tak langsung. Sekiranya ia bertekad dan berniat untuk menyempurnakan amalnya serta yakin atas keluasan rahmat Allah swt, niscaya di hatinya tak akan pernah terpikir pahala saat ia beramal. Justru ia akan mengikhlaskan amalnya karena Allah. sekalipun amalnya kurang sempurna, beruntungnya ia tetap terselamatkan dari siksa Allah. Tuhannya akan berkata kepadanya, “Amal yang kau kerjakan ini tidak layak mendapat pahala-Ku, tetapi cukuplah bagimu jika kau selamat dan tidak Ku siksa.”
Hikmah di atas sebetulnya adalah celaan bagi para pencari pahala atas amal yang dilakukannya. Ia menjelaskan bahwa sebaiknya seorang hamba menyembah Allah berdasarkan keyakinannya atas kebesaran, ketuhanan, dan sifat-sifat rububiyah-Nya, bukan karena balasan yang akan di dapatkannya di dunia dan akhirat.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

1 komentar:

  1. Bismillahirrohmaanirrohiim mohon share jzkk Moga diterima sebagai amal soleh In Syaa Allah Aamiin Allahumma Aamiin

    BalasHapus