Senin, 28 September 2015

Al-Hikam 149

“Apabila kau gembira ketika diberi karunia oleh-Nya dan kecewa saat ditolak-Nya, simpulkanlah bahwa itu adalah bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--

Itu adalah sikap kekanak-kanakanmu di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah. Maksudnya, kau masih belum termasuk golongan mereka. Kau hanya ikut-ikutan dalam perkara yang tak layak kauikuti. Seperti halnya anak-anak yang tidak mempunyai rasa malu mendekati tamu yang belum dikenalnya. Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan penghambaanmu kepada-Nya.
Saat seorang merasa sempit karena tidak diberi dan merasa lapang saat diberi, ini pertanda bahwa ia masih memedulikan kepentingan dan maslahatnya. Menurut kaum ‘arif, bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan maslahat pribadi bertentangan dengan ‘ubudiyah. Siapa yang mendapati kondisi itu pada dirinya, hendaknya ia mengerti bahwa ‘ubudiyah-nya masih belum tulus. Sepatutnya juga ia sadar bahwa ia sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah. Terlebih lagi bila ia mengaku-ngaku memiliki kedudukan seperti mereka, padahal tidak demikian.
Lain halnya jika kekecewaan saat ditolak Allah itu timbul karena ia takut tidak sabar dan takut melawan kuasa Ilahi, akan terjadilah padanya rasa bosan. Lain halnya jika kebahagiaan saat diberi Allah itu terjadi karena ia tidak lagi mengalami rasa takut untuk tidak bersabar. Ini adalah bukti perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya karena ia tidak dijerumuskan-Nya ke dalam perkara yang mengganggu kondisinya. Ini bukanlah sifat kekanak-kanakan dan ketidaktulusan yang disebutkan di atas. Bagaimanapun, orang-orang ‘arif pasti tetap memiliki sisa-sisa sifat kemanusiaan yang ada pada dirinya. Dengan sisa-sisa sifat itu, mereka mampu bergaul dengan manusia dan makhluk lainnya. Ini adalah kebutuhan manusiawi pada dirinya.


(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar