“Apabila kau gembira ketika diberi
karunia oleh-Nya dan kecewa saat ditolak-Nya, simpulkanlah bahwa itu adalah
bukti dari kekanak-kanakanmu dan ketidaktulusan penghambaanmu.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Itu adalah sikap kekanak-kanakanmu di tengah orang-orang
yang dekat dengan Allah. Maksudnya, kau masih belum termasuk golongan mereka.
Kau hanya ikut-ikutan dalam perkara yang tak layak kauikuti. Seperti halnya
anak-anak yang tidak mempunyai rasa malu mendekati tamu yang belum dikenalnya.
Ini juga menjadi bukti ketidaktulusan penghambaanmu kepada-Nya.
Saat seorang merasa sempit karena tidak diberi dan
merasa lapang saat diberi, ini pertanda bahwa ia masih memedulikan kepentingan
dan maslahatnya. Menurut kaum ‘arif,
bekerja untuk mendapatkan kepentingan dan maslahat pribadi bertentangan dengan ‘ubudiyah. Siapa yang mendapati kondisi
itu pada dirinya, hendaknya ia mengerti bahwa ‘ubudiyah-nya masih belum tulus. Sepatutnya juga ia sadar bahwa ia
sedang bersikap kekanak-kanakan di tengah orang-orang yang dekat dengan Allah.
Terlebih lagi bila ia mengaku-ngaku memiliki kedudukan seperti mereka, padahal
tidak demikian.
Lain halnya jika kekecewaan saat ditolak Allah itu
timbul karena ia takut tidak sabar dan takut melawan kuasa Ilahi, akan
terjadilah padanya rasa bosan. Lain halnya jika kebahagiaan saat diberi Allah
itu terjadi karena ia tidak lagi mengalami rasa takut untuk tidak bersabar. Ini
adalah bukti perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya karena ia tidak
dijerumuskan-Nya ke dalam perkara yang mengganggu kondisinya. Ini bukanlah
sifat kekanak-kanakan dan ketidaktulusan yang disebutkan di atas. Bagaimanapun,
orang-orang ‘arif pasti tetap
memiliki sisa-sisa sifat kemanusiaan yang ada pada dirinya. Dengan sisa-sisa
sifat itu, mereka mampu bergaul dengan manusia dan makhluk lainnya. Ini adalah
kebutuhan manusiawi pada dirinya.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar