“Dia menunjukkan wujud nama-Nya
lewat keberadaan makhluk-Nya. Dia menunjukkan sifat-sifat-Nya lewat keberadaan
nama-Nya. Dia menunjukkan wujud dzat-Nya lewat keberadaan sifat-sifat-Nya.
Pasalnya, tidak mungkin sifat tersebut ada dengan sendirinya. Orang-orang yang
ditarik kepada-Nya (majdzub) akan diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya,
kemudian dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu digiring untuk bergantung
kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.
Adapun para salik, mereka mengalami kondisi sebaliknya. Akhir perjalanan para
salik adalah awal perjalanan kaum majdzub (yang ditarik kepada-Nya). Sementara
itu, awal perjalanan salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub. Hal itu tidak
berarti bahwa keduanya sama. Bisa saja keduanya bertemu di jalan. Yang satu
sedang naik, sedangkan yang lain sedang turun.”
--Ibnu
Atha’illah al-Iskandari--
Allah menunjukkan asma’-Nya
lewat keberadaan jejak-jejak atau ciptaan-Nya yang baik dan sempurna. Semua
ciptaan tidak akan terwujud, kecuali dari Dzat Yang MahaMampu, MahaBerkehendak,
dan MahaMengetahui.
Dia juga menunjukkan sifat-sifat-Nya seperti qudrah (MahaKuasa), iradah (MahaBerkehendak), dan ‘ilmu
(MahaMengetahui) lewat keberadaan asma’-Nya.
Lewat sifat-sifat-Nya itu, Dia menunjukkan wujud dzat-Nya karena tak mungkin
sifat ada sendiri tanpa sosok yang memiliki sifat itu.
Inilah kondisi para salik. Hal pertama yang tampak bagi mereka adalah jejak-jejak
Allah, yaitu berupa perbuatan-Nya (af’al).
Mereka kemudian menjadikan perbuatan-Nya itu sebagai bukti adanya asma’ Allah. Asma’ tersebut menunjukkan adanya sifat-sifat-Nya. Dengan
sifat-sifat itu pula, mereka membuktikan adanya dzat Allah. Merekalah yang
berkata, “Kami tidak pernah melihat sesuatu, kecuali setelah itu kami melihat
Allah padanya.”
Sebaliknya dengan orang-orang
. Hal itu
diisyaratkan oleh Ibnu Atha’illah melalui butiran hikmah sebagai berikut:
“Orang-orang
yang ditarik kepada-Nya (majdzub) akan
diperlihatkan kepada kesempurnaan dzat-Nya,” yaitu agar mereka melihatnya
dengan mata kepala sendiri dan perasaannya.
1.majdzub
adalah orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya sehingga ia mendapatkan
keistimewaan tanpa bersusah payah menempuh berbagai maqam untuk meraihnya.
Adapun salik adalah orang-orang yang baru mendapatkan keistimewaan dari Allah
setelah bersusah payah meniti jalan menuju-Nya.
“Kemudian, mereka
dibawa untuk menyaksikan sifat-Nya,”
bermakna melihat hubungan sifat-sifat itu dengan dzat-Nya.
“Lalu digiring
untuk bergantung kepada nama-Nya, selanjutnya dikembalikan lagi untuk
menyaksikan makhluk-Nya,” misalnya dengan
menyaksikan hubungan antara asma’
Allah dengan makhluk. Karena makhluk itu sendiri bersumber dari asma’ Allah, mereka akan dikembalikan
lagi untuk menyaksikan makhluk-Nya.
Hal pertama yang tampak bagi kaum majdzub adalah hakikat Dzat Yang Suci, lalu mereka ditarik
dari sana untuk melihat sifat-sifat-Nya. Selanjutnya, mereka kembali bergantung
kepada asma’-Nya. Setelah itu, mereka
diturunkan lagi untuk melihat makhluk-makhluk-Nya. Mereka itulah yang berkata,
“Kami tidak melihat sesuatu, kecuali kami sebelumnya melihat Allah.”
Jika akhir perjalanan para majdzub adalah melihat makhluk-makhluk Allah setelah melihat Allah,
akhir perjalanan para salik berbeda.
Di akhir perjalanannya, para salik
menyaksikan Dzat suci-Nya dan mengungkap kesempurnaan-Nya setelah sebelumnya
melihat makhluk-Nya.
Dengan demikian, awal perjalanan para salik adalah akhir perjalanan kaum majdzub, yaitu melihat makhluk dan menyaksikan
ketergantungannya kepada Allah. Itu merupakan akhir perjalanan kaum majdzub. Namun demikian, tidak berarti
kedua golongan itu sama karena di akhir perjalanannya, meski mereka juga akan
ditarik Allah (jadzab), para salik harus terlebih dahulu memiliki
keteguhan dan ilmu tentang kondisi perjalanannya serta pengetahuan tentang
hambatan jiwa.
Mereka tidak akan ditarik Allah, kecuali setelah
melalui perjuangan dan kesulitan. Lain halnya dengan awal perjalanan para majdzub, mereka tidak perlu memiliki
keteguhan. Oleh sebab itu, di awal perjalanannya, mereka kerap mengalami ghaibah (ketidaksadaran) dan tidak
mengetahui apa yang mereka lakukan. Terkadang mereka meninggalkan kewajiban dan
melakukan kemungkaran-kemungkaran syar’i.
Namun, mereka tidak disiksa atas hal itu karena akal mereka, yang merupakan
poros taklif, tengah tertutup oleh
cahaya.
Di awal perjalanan para salik, mereka tidak menyaksikan kesempurnaan dzat, asma’, dan sifat-Nya. Lain halnya dengan
akhir perjalanan para majdzub, mereka
tidak mengalami kesadaran, kecuali setelah melihat kesempurnaan dzat, asma’, dan sifat-Nya.
Para salik
beramal untuk meningkatkan diri mereka di jalan kefanaan dan kesirnaan.
Sementara itu, para majdzub dipaksa
berjalan untuk menuruni jalan keabadian dan kesadaran. Jika demikian, bisa saja
keduanya bertemu di tengah jalan. Yang satu sedang naik dari makhluk menuju
Khalik, sedangkan yang lain sedang turun dari Khalik menuju makhluk.
Mungkin keduanya bertemu dalam tajalli asma’ dan
sifat-sifat-Nya, yakni masing-masing dari mereka menyaksikan asma’-Nya. Namun, seorang majdzub, jika berpindah dari situ,
berarti ia berpindah kepada makhluk, sedangkan salik berpindah kepada sifat. Tentu salik lebih utama dari majdzub
karena ia banyak mengambil manfaat dari perjalanannya. Lain halnya dengan majdzub, jika Allah menghendaki untuk
menyempurnakan kondisinya, Allah akan membuatnya sadar.
Masing-masing dari ilmu salik dan majdzub
bersumber dari perasaan walaupun prinsip ilmu salik lebih bersifat deduktif,
sebagaimana yang disimpulkan dari ungkapan, “Dia menunjukkan wujud nama-Nya
lewat keberadaan makhluk-Nya…”
Seorang majdzub,
selama masih mengalami jadzab, tak
layak untuk mendapat gelar “syekh” karena ia belum melewati berbagai maqam dan belum mengetahui berbagai
petaka jiwa. Selain itu, ia masih sibuk menjalani satu kondisi sehingga
melupakan kondisi lainnya.
Demikian pula seorang salik, jika ia belum mencapai taraf musyahadah dan tajalli,
ia tidak layak mendapat gelar “syekh” karena ia belum sempurna. Yang layak
mendapat gelar “syekh” hanyalah orang yang telah berhasil menghimpun keduanya,
baik perjalanan suluk-nya lebih
dahulu dari jadzab-nya maupun sebaliknya.
Terkadang seorang majdzub
melewati berbagai maqam dengan cepat dan ia juga mengetahui barbagai petaka
jiwa sehingga ia layak menjadi syekh meski harus tetap dengan kondisi jadzab-nya. Namun, ini terjadi pada
beberapa orang majdzub saja, seperti
sosok Sayyid Ahmad al-Badawi, bukan terjadi pada setiap majdzub.
(Ulasan oleh Syekh Abdullah asy-Syarqawi al-Khalwati)